Logika Filsafat Setiap Bangsa Berbeda-beda
Sesungguhnya logika filsafat tidak mempunyai ketentuan baku dan tidak hanya terbatas pada satu jenis logika saja. Tidaklah satu bangsa melainkan mempunyai logika yang khusus. Bangsa Persia mempunyai logika tersendiri. Bangsa Hindia mempunyai logika tersendiri. Bangsa Yunan juga demikian. Bangsa Majusi juga demikian dan begitu yang lainnya, masing-masing golongan tidak sepakat pada logika tertentu. Bahkan mereka berselisih dan berbeda dalam masalah logika, yang ini telah diketahui oleh orang-orang yang perhatian dengannya.
Kita alihkan pandangan kepada logika-logika yang berkembang di antara umat Islam. Tidaklah berjalan satu masa melainkan muncul perkara baru (yang diada-adakan) dalam agama, yang mana penganutnya menyangka bahwa itulah yang ditunjukkan oleh logika.
Manusia Sebelum Risalah Nabi Muhammad Mengandalkan Logika
Ketika bumi mengalami jaman kegelapan (jahiliyyah) dan telah jauh manusia dari masa turunnya wahyu (sebelum diutusnya Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam), ummat manusia berpecah-belah menjadi kelompok-kelompok dan golongan-golongan dalam kebathilan. Sampai-sampai tidak bisa disatukan lagi dan tidak terhitung jumlahnya kecuali oleh Allah. Mereka ini kehilangan cahaya kenabian dan merujuk kepada akal logika semata, sebagaimana dikatakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika meriwayatkan dari Allah, bahwa Dia berkata:
إِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمْ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوا بِي مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا وَإِنَّ اللَّهَ نَظَرَ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ فَمَقَتَهُمْ عَرَبَهُمْ وَعَجَمَهُمْ إِلَّا بَقَايَا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
“Sesungguhnya Aku menciptakan para hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (lurus di atas tauhid). Kemudian mereka didatangi para setan, lalu mereka dibawa pergi oleh para setan dari agama mereka, sehingga para setan itu mengharamkan atas mereka apa yang Aku halalkan bagi mereka. Para setan itu memerintahkan agar mereka menyekutukan dengan-Ku sesuatu yang tidak ada keterangan yang benar tentangnya. Sesungguhnya Allah melihat kepada penduduk bumi, kemudian Allah murka kepada mereka baik bangsa arab atau non arab, selain sisa-sisa ahlil kitab (yang berpegang teguh kepada dengan agama mereka yang benar tanpa mengubah-ubah).”
Para penganut logika filsafat semuanya dimurkai Allah kecuali sisa-sisa orang yang berpegang teguh dengan wahyu. Sedang orang-orang yang meninggalkan wahyu dan mendahulukan logika filsafat mereka adalah para pengibadah berhala, salib, api, bintang, matahari, dan bulan, atau orang yang ragu dan bimbang, atau orang-orang atheis dan mengingkari adanya pencipta alam ini. Mereka ini dengan hal itu memperoleh murka Allah dan Allah berpaling dari mereka.
Cahaya Risalah pada Generasi Awal Ummat Islam
Kemudian Allah menerbitkan cahaya risalah dalam kegelapan itu sebagai lentera yang terang. Dengan risalah itu, Allah menganugerahi penduduk bumi kenikmatan pada akal-logika, hati-hati, kehidupan dunia, dan kehidupan akhirat mereka, yang tidak mungkin dibalas dengan rasa syukur mereka. Sehingga mereka bisa melihat dengan cahaya wahyu petunjuk yang tidak bisa dilihat dengan akal-logika mereka. Mereka melihat dengan cahaya risalah petunjuk yang tidak bisa mereka lihat dengan ro’yu-ro’yu (pikiran-pikiran) mereka.
Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala:
{اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ}
Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman).
Allah juga berfirman:
{الر كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ}
Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.
Allah juga berfirman:
{وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحاً مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلا الْأِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُوراً نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا}
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. (Asy-Syuro: 52)
Allah juga berfirman:
{أَوَمَنْ كَانَ مَيْتاً فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُوراً يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا}
Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? (Al-An’am: 122)
Generasi pertama ummat Islam telah lewat dalam petunjuk cahaya ini, tanpa dipadamkan oleh badai hawa nafsu dan tercampur dengan kegelapan logika pikiran. Merekapun mewasiatkan orang-orang yang sesudah mereka agar tidak berpisah dengan cahaya risalah yang diperoleh dari mereka dan agar tidak keluar dari jalan mereka.
Firqoh-Firqoh Sesat Yang Muncul Karena Salah Memahami Wahyu
Ketika pada akhir masa generasi pertama muncullah firqoh-firqoh sesat syiah, khowarij, al-qodariyah, dan al-murjiah. Mereka ini jauh dari cahaya yang digunakan oleh generasi awal ummat ini. Namun, meskipun demikian, mereka ini tidak meninggalkan cahaya risalah itu sama sekali, bahkan mereka masih mengagungkan nas-nas al-qur’an dan as-sunnah, dan beristidlal dengannya. Keduanya masih didahulukan daripada logika dan hasil pikiran.
Mereka tidak membiarkan seorangpun dari mereka ini mempunyai logika yang menentang nas-nas wahyu. Namun kesesatan mereka itu berasal pemahaman yang jelek terhadap wahyu dan tidak mengikuti petunjuk para shohabat dan kibar tabiin sebelum mereka. Para shohabat dan kibar tabiin di setiap wilayah yang mendapati mereka ini memperingatkan tentang mereka ini dan berlepas diri dari mereka ini.
Mulai Didahulukan Logika daripada Wahyu
Namun ketika telah bertambah pengikut jahmiyyah pada akhir masa tabiin, merekalah yang pertama kali menentang wahyu dengan logika. Namun mereka masih sedikit awalnya dalam keadaan terhina di sisi para imam kaum muslimin.
Orang jahmiyyah yang pertama dan guru mereka adalah Al-Ja’d bin Dirham. Dia menyembunyikan sesuatu kepada manusia karena dia adalah pengajar dan syaikhnya Marwan bin Muhammad Al-Himar (kholifah terakhir bani umayyah). Dengan ‘berkah’ gurunya ini kerajaan dan kekhalifahan Bani Umayyah sirna. Al-Ja’d menolak sifat-sifat Allah, seperti Al-Kalam dan Al-Mahabbah dan Al-Khullah.
Dan akhirnya Al-Ja’d bin Dirham ini dihukum salib oleh Gubernur Iraq waktu itu yang bernama Kholid bin Abdillah Al-Qisri.
Kemudian bid’ah itu padam. Dan kaum muslimin waktu itu satu prinsip bahwa Allah di atas langit di atas ‘arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya. Allah mempunyai sifat-sifat sempurna dan mulia. Allah mempunyai sifat al-kalam, dan mengajak bicara nabi Musa. Allah juga menampakkan kepada sebuah gunung, sehingga gunung itu hancur ...
Logika –Ilmu Kalam- Menjadi Madzhab Negara –Kekhalifahan-
Hingga sampailah pada awal abad ke-3 Hijriah, ketika kaum muslimin dipimpin khalifah Abdullah Al-Ma`mun (dari Bani ‘Abbasiyyah). Dulunya dia mencintai berbagai bidang ilmu dan majelisnya selalu diramaikan oleh para ahli kalam dari berbagai disiplin ilmu, hingga akhirnya terpengaruh dengan sebagian mereka, dan terkondisikan untuk suka dengan hal-hal yang berbau akal-logika.
Dia pun akhirnya memerintahkan penerjemahan buku-buku sesat Yunani, dan mendatangkan para penerjemah dari berbagai negeri. Hingga terciptalah terjemahan dalam bahasa Arab.
Akibatnya kaum muslimin disibukkan dengan (membaca) buku-buku sesat tersebut. Sedangkan Al-Ma`mun sendiri, yang memprakarsai program tersebut, semakin larut dan terbawa buku-buku sesat itu hingga majelisnya pun didominasi sekumpulan Jahmiyyah (yang banyak mengandalkan akal dalam memahami agama) yang justru pada masa pemerintahan bapaknya Harun Ar-Rosyid, mereka ini merupakan buronan. Ada yang tertangkap kemudian dipenjara, dan ada pula yang dibunuh.
Orang-orang inilah yang meracuni dan membisikkan bid’ah Jahmiyyah ke telinga dan hati Al-Ma`mun, hingga dia menerima bid’ah itu dan menganggapnya sebagai kebaikan. Bahkan dia ajak manusia kepada bid’ah tersebut dan menghukum siapa saja yang tidak menyambut ajakannya.
Kemudian tak berselang lama, dia digantikan oleh Al-Mu’tashim. Dialah yang melanjutkan perbuatan Al-Makmun, bahkan dialah yang menyiksa Imam Ahmad karena tidak mau mengikuti pemikiran ini. ...
Begitulah seterusnya sampai dilanjutkan oleh Al-Watsiq....
(Ash-Shawa’iq Al-Mursalah, 1/148)
Begitulah ilmu kalam yang awalnya ada pada ummat Islam secara sembunyi-sembunyi, kemudian dilariskan oleh para tokoh penyesat dan penguasa, sehingga sampai sekarang sudah dianggap sebagai perkara yang tidak tabu lagi. Bahkan secara terang-terangan dijarkan di kalangan kaum muslimin, yang mengaku sebagai pendidikan tinggi agama Islam. Padahal ilmu kalam bukanlah dari Islam.
Para pembaca, dari keterangan di atas dapatlah diambil pelajaran yang sangat berharga bahwa buku-buku sesat sangat berbahaya bagi umat, merusak agama mereka, dan dapat menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan. Sampai-sampai Al-Makmun yang ketika itu menjabat khalifah dan sejak kecil hafal Al-Qur`an menjadi sesat akibat buku-buku sesat Yunani Kuno dan buku-buku sesat karya tokoh-tokoh Jahmiyyah di masanya.
Beberapa kesimpulan:
1. Ilmu kalam bukanlah berasal dari agama Islam.
2. Hati-hati dari buku ilmu kalam, ia menjadi efektif yang digunakan musuh-musuh Islam untuk merusak agama umat dan menyesatkan mereka dari jalan kebenaran.
3. Hati-hati dari buku-buku sesat secara umum, karena akan merusak agama umat Islam.
4. Kembali memahami agama dengan pemahaman generasi awal yang terbaik (shohabat, tabiin, dan tabiut-tabiin), serta pemahaman para ulama ahlussunnah wal jamaah –yang berpegang dengan Al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman generasi awal terbaik ummat Islam.
***