Berita Rosululloh

Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Umat ini akan berpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu.” Para shohabat bertanya: “Siapakah mereka, wahai Rosululloh?” Beliau menjawab: “Golongan yang berada di atas petunjuk yang dipegang aku dan para shohabatku.”

(HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrok dari Abdullah bin Amr. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Takhrij Al-Kasyaf hal. 64: “Sanadnya hasan.”).

Wasiat Rosululloh

Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Aku tinggalkan di antara kalian dua hal, kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya: Kitabulloh dan Sunnahku, dan keduanya tidak akan berpisah hingga mendatangiku di Al-Haudh (telaga Rosululloh di hari kiamat nanti).”

Hadits Shohih, HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrok dari Abu Huroiroh, dibawakan dalam Jamiush-Shoghir karya Al-Imam As-Suyuthi)

Madzhab Imam Asy-Syafii

Al-Imam Asy-Syafi’i berkata:

“Jika hadits itu shohih, maka itulah madzhabku (pendapatku).”

(Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (1/63) karya Al-Imam An-Nawawi)

Jangan Akuan semata ...

Tidaklah semua orang yang mengaku bermadzhab syafii itu benar mengikuti madzhab Al-Imam Asy-Syafii. Dan tak berguna akuan yang tidak diiringi dengan kenyataan. Sebagaimana kata seorang penyair:

“Setiap orang mengaku punya hubungan dengan Laila Namun Laila tidak membenarkannya.”

Apa Ciri Ahlussunnah?

Ibnu Katsir dalam Tafsirnya (Ar-Rum: 30-32) berkata: “Umat Islam ini berselisih di antara mereka menjadi berbagai aliran, semuanya sesat kecuali satu, yaitu ahlussunnah wal jamaah, yang memegang teguh Kitabullah dan Sunnah Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam, dan memegang petunjuk generasi pertama: para shohabat, para tabiin, serta para imam kaum muslimin pada masa dulu atau belakangan.”

Setelah kita menyebutkan perkataan Imam Asy-Syafii dan Imam Waki’ (salah seorang guru Imam Asy-Syafii), kita akan menyebutkan beberapa perkataan ulama yang lain tentang Sufiyah [Shufiyyah] atau tasawuf [tashawwuf, tashowwuf].

1. Imam Malik (guru Imam Asy-Syafii) –rohimahumalloh-

Al-Qodhi ‘Iyadh rohimahulloh berkata dalam kitabnya Tartib Al-Madarik Wa Taqrib Al-Masalik 2/54: At-Tinisi berkata: Kami dulu berada di sisi Malik, dan para muridnya berada di sekelilingnya. Kemudian seorang dari penduduk Nashibiyin berkata: “Di tempat kami ada satu kaum yang disebut dengan sufiyah, dimana mereka makan banyak, kemudian mereka mulai membaca qasidah-qasidah [qashidah, qoshidah], kemudian bangkit dan menari.” Maka Imam Malik berkata: “Apakah mereka anak-anak?” Dia menjawab: “Tidak.” Imam Malik bertanya: “Apakah mereka orang-orang gila?” Dia menjawab: “Bahkan mereka adalah para tokoh agama yang berakal!” Maka Imam Malik berkata: “Aku tidak mendengar bahwa seorang muslim akan melakukan demikian.”

2. Imam Ahmad bin Hambal (murid Imam Asy-Syafii) –rohimahumalloh-
Beliau memperingatkan dari berteman dan duduk-duduk dengan mereka. Beliau pernah ditanya tentang nasyid-nasyid dan qasidah-qasidah –yang disebut sima’- yang dilakukan Sufiyah. Maka beliau mengatakan: “Itu perkara yang diada-adakan dalam agama (tidak ada landasannya dalam agama Islam).” Kemudian ditanyakan kepada beliau: “Apakah boleh kami duduk-duduk dengan mereka?” Beliau menjawab: “Tidak.”
Dan Imam Ahmad juga berkata tentang Al-Harits Al-Muhasibi –seorang imam tasawuf-. Maka beliau berkata kepada murid-muridnya: “Aku tidak mendengar tentang hakekat-hakekat seperti perkataan orang ini. Dan aku tidak berpadangan engkau boleh duduk-duduk dengannya.” (Tahdzibut Tahdzib 1/327)

3. Abu Zur’ah Ar-Rozi -rohimahulloh-
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani berkata dalam At-Tahdzib: Al-Bardza’i berkata: Abu Zur’ah ditanya tentang Al-Muhasibi dan kitab-kitabnya, maka dia menjawab: “Hati-hati kamu dari kitab-kitab ini, (yang berisi) bid’ah-bid’ah dan kesesatan-kesesatan. Dan wajib kamu berpegang teguh dengan al-atsar (hadits, sunnah, petunjuk Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam), sesungguhnya engkau akan mendapati dalam atsar yang mencukupimu dari kitab-kitab ini.”
Kemudian ada yang bertanya kepadanya: “Di dalam kitab-kitab ini ada pelajaran?”
Dia menjawab: “Baangsiapa yang tidak mendapat pelajaran dalam Kitabulloh, maka dia tidak akan mendapat pelajaran dalam buku-buku ini. Apakah telah ada kabar sampai kepada kalian bahwa Imam Malik, Sufyan Ats-Tsauri, atau Al-Auza’i atau para imam lainnya menulis kitab-kitan tentang lintasan-lintasan hati dan was-was (bisikan-bisikannya) serta perkara-perkara ini? Kaum sufiyah ini telah menyelisihi para ulama. Kadang mereka membawa Al-Muhasibi kepada kita, kadang membawa Abdurrohim Ad-Daili, dan kadang membawa Hatim Al-Ashom... Betapa cepatnya manusia berlari menuju para ahli bid’ah ini.”

Orang-orang sufi itu berpaling dari syariat Islam, karena mereka bodoh tentang syariat dan suka mengada-adakan perkara agama dengan pendapat ro’yu (akal) mereka. Mereka senang dengan ghuluw (sikap berlebih-lebihan) dalam beragama dan beribadah.

Begitulah kebanyakan orang yang mengaku bermadzhab syafii, tidak mengambil pendapat/perkataan Imam Asy-Syafii kecuali yang mencocoki hawa nafsu mereka dalam masalah fiqih dan ibadah. Sedangkan dalam masalah aqidah dan manhaj tidak menempuh jalan yang ditempuh beliau. Padahal masalah aqidah dan tauhid itulah dasar agama.

Selasa, 29 September 2009

Imam Syafii telah mencela sufiyah (shufiyyah) karena kesesatan mereka. Beliau telah menyebutkan ciri-ciri mereka untuk memperingatkan agar tidak tertipu dengan mereka dan masuk ke dalam bid’ah sufiyah.
Hal ini nampak sangat jelas dalam teks-teks ucapan beliau tentang firqoh (golongan, sekte) ini.
Di antara ucapan beliau:

1. Imam Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya dari Yunus bin Abdil A’la, dia berkata: Aku mendengar Imam Asy-Syafii berkata: “Kalau seorang menganut ajaran tasawuf (tashawwuf) pada awal siang hari, tidak datang waktu zhuhur kepadanya melainkan engkau mendapatkan dia menjadi dungu.” (Manaqib Imam As-Syafii 2/207, karya Imam Al-Baihaqi)

Dungu adalah sedikitnya akal. Dan itu adalah penyakit yang berbahaya.
Tidaklah aneh ahli tasawwuf dalam waktu kurang dari sehari akan menjadi orang yang dungu. Tulisan-tulisan mereka sendiri menjadi saksi tentang hal itu.

An-Nabhani -seorang sufi- dalam kitabnya yang penuh dengan khurofat, kezindiqan, dan kesesatan; yang berjudul Jami’ Karomat Auliya tentang biografi Ahmad bin Idris, dia berkata:

[Di antara karomahnya yang agung yang tidak bakal dicapai kecuali oleh orang-orang tertentu adalah berkumpulnya dia dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan bangun (terjaga), kemudian dia mengambil wirid-wiridnya, hizb-hizbnya dan sholawatnya yang masyhur dari beliau secara langsung ......
Dia (Ahmad bin Idris) diuji dengan hilangnya indera dengan benda-benda yang ada. Kemudian dia mengeluhkan kepada sebagian guru-gurunya. Kemudian sang guru berkata: ‘Kaana (Jadilah dia).’ Ahmad bin Idris menceritakan dirinya: Maka dengan semata ucapan sang guru “kaana”, hilang dariku semua rasa sakit, kemudian aku bangkit waktu itu juga dan jadilah aku seperti orang yang tidak ditimpa sesuatupun. Aku memuji Allah. Dan aku mengetahui bahwa telah pasti apa yang dikatakan para tokoh sufi: Awal jalan adalah junun (kegilaan), pertengahannya funun, dan akhirnya ‘kun fa yakun’.”]

Perkataan ini tidak pernah diucapkan oleh seorang yang berakal sama sekali. Karena tidak ada yang berhak dengan sifat seperti ini -yaitu mengucapkan kepada sesuatu ‘kun fa yakun’ selain Allah. Allah berfirman tentang Diri-Nya:
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia (Kun fa Yakun). (Yasin: 82)
Mereka –ahil tasawwuf- telah mengakui bahwa diri mereka adalah gila.
Sehingga tidak keliru ketika Imam Asy-Syafii mengatakan: “Tidaklah aku melihat seorang sufi yang berakal sama sekali.” (Manaqib Imam As-Syafii 2/207, karya Imam Al-Baihaqi)

2. Imam Asy-Syafii rohimahulloh berkata: “Tidaklah ada seorang yang berteman dengan orang-orang sufi selama 40 (empat puluh) hari, kemudian akalnya akan kembali selama-lamanya.”

Dan beliau membacakan syair:
ودع الذين اذا أتوك تنسكوا ... واذا خلوا فهم ذئاب خفاف
Tinggalkan orang-orang yang bila datang kepadamu menampakkan ibadah
Namun jika bersendirian, mereka serigala buas
  (Talbis Iblis hal. 371)
   
3. Imam Asy-Syafii juga berkata: “Dasar landasan tasawwuf adalah kemalasan.” (Al-Hilyah 9/136-137)

Kenyataan sufiyah menjadi saksi apa yang dikatakan Imam Asy-Syafii bahwa dasar landasan mereka adalah malas. Mereka adalah orang yang paling rajin dalam menunaikan bid’ah dan penyelisihan syariat. Dan mereka juga orang yang paling sangat malas dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menghidupkan sunnah-sunnah nabi (tuntunan-tuntunan nabi) shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sebagai tambahan... suatu waktu Imam Waki’ (salah satu guru Imam Asy-Syafii) berkata  kepada Sufyan bin ‘Ashim: “Kenapa engkau meninggalkan hadits Hisyam?” Sufyan bin Ashim menjawab: “Aku berteman dengan satu kaum dari sufiyyah, dan aku merasa kagum dengan mereka, kemudian mereka berkata: ‘Jika kamu tidak menghapus hadits Hisyam, kami akan berpisah denganmu’.” Maka Imam Waki’ berkata: “Sesungguhnya ada kedunguan pada mereka.” (Talbis Iblis hal 371-372)

Insya Allah menyusul perkataan imam ahlussunnah wal jamaah -imam salaf- yang lainnya tentang sufiyyah.
***

Senin, 28 September 2009

“Apabila hadits itu shahih, maka itulah madzhabku." Ini sebagaimana dihikayatkan oleh An-Nawawi di dalam Al-Majmu' 1/63, dan Asy-Sya'rani 10/57

Dan ini diamalkan oleh para tokoh madzhab syafiiyah, semoga Allah merohmati mereka semua.

Sebagai contoh adalah apa yang dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi:
     “Para pengikut madzhab syafiiyah telah mengamalkan perkataan beliau ini dalam masalah at-tatswib dan disyaratkannya tahallul dari ihram dengan udzur sakit serta yang lainnya yang diketahui dalam kitab-kitab madzhab. Di antara yang dihikayatkan bahwa dia berfatwa dengan hadits dari pengikut madzhab syafiiyah adalah Abu Ya’qub Al-Buwaithi dan Abu Al-Qashim Ad-Daraki.
     Dan termasuk di antara yang mengamalkan perkataan beliau ini dari para pengikut madzhab syafiiyah yang para ahli hadits adalah: Al-Imam Abu Bakr Al-Baihaqi dan lainnya. Dan sekumpulan dari orang-orang terdahulu dari pengikut madzhab syafiiyah jika memandang satu masalah tentang ada sebuah hadits, sedangkan madzhab Asy-Syafii menyelisihinya maka mereka mengamalkan hadits tersebut dan berfatwa dengannya, dengan mengatkan bahwa madzhab Asy-Syafii adalah apa yang mencocoki hadits.
     Asy-Syaikh Abu ‘Amr berkata: ‘Barangsiapa dari pengikut madzhab syafiiyah mendapati satu hadits menyelisihi madzhabnya dia meneliti. Jika sempurna alat-alat ijtihad pada dirinya secara mutlak atau dalam satu masalah, maka dia bebas beramal dengannya. Jika tidak sempurna alat ijtihad dan dia merasa berat menyelisihi hadits setelah melakukan pembahasan kemudian dia tidak mendapati jawaban yang memuaskan dari orang yang menyelisihinya, maka dia berhak untuk beramal dengan hadits itu jika seorang imam selain Asy-Syafii mengamalkannya. Maka ini menjadi udzur baginya untuk meninggalkan imamnya dalah masalah ini.’
Apa yang dikatakan beliau ini sungguh bagus. Wallahu a’lam.”

    Contoh lain adalah jawaban Taqiyyuddin As-Subki dalam sebuah risalah Ma’na Qouli Asy-Syafii (3/103) tentang sebuah pertanyaan: jika seseorang tidak mendapati orang yang mengamalkan hadits tersebut, apa yang dia lakukan?
Beliau menjawab: “Lebih utama -menurutku- dia mengikuti hadits tersebut, dan hendaknya seseorang mengandaikan dirinya berada di depan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal dia telah mendengar hadits itu dari beliau, apakah dia boleh untuk menunda-nunda untuk mengamalkannya? Tidak, demi Allah ... dan setiap orang dibebani sesuai dengan pemahamannya.”

    Al-Baihaqi berkata: “Oleh karena itu, beliau –Imam Syafii- banyak mengambil hadits...”
Oleh karena itu, para pengikut Al-Imam Syafii atau yang lainnya tidak mengambil semua yang dikatakan oleh imam mereka. Bahkan mereka meninggalkan banyak dari perkataan imam, ketika mereka melihat bahwa pendapat itu menyelisihi sunnah (hadits) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Seperti Al-Imam Al-Muzani dan lainnya.

    Semoga hal ini bermanfaat bagi kita semua. Sehingga kita bisa mengikuti bimbingan Imam As-Syafii dengan memegang teguh sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.


Sabtu, 19 September 2009

"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti 
pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)."
(QS. Al-'Araf: 3)

Sangat bermanfaat bila kita mengetahui perkataan para Imam madzhab yang empat (madzhab hanafi, maliki, syafii dan hambali). Dimana merupakan sikap mereka mendahulukan perkataan Allah dan Rasul-Nya daripada pendapat selain keduanya. Mereka memutuskan perkara dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan ketika sebuah permasalahan tidak disebutkan secara nas dalam dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka berijtihad dan beristimbat dari dalil-dalil yang mereka ketahui.

Imam Asy-Syafii dan imam-imam yang lain, tidak pernah sekalipun mengajarkan kepada para pengikut-pengikutnya, untuk taklid (fanatik buta) kepada mereka.
Berikut perkataan para imam tersebut, semoga Allah merahmati mereka:

I. IMAM ABU HANIFAH

1. "Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku." (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)
Demikianlah kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam ini. Dimana mereka mengisyaratkan bahwa mereka tidaklah mengetahui as-sunnah semuanya. Dan Imam Syafii juga telah menyebutkan secara jelas tentang perkara itu –sebagaimana yang akan datang-. Kadang muncul dari mereka pendapat yang menyelisihi as-sunnah yang belum sampai kepada mereka, kemudian mereka memerintahkan kita untuk memegang teguh sunnah tersebut dan menjadikan as-sunnah tersebut sebagai madzhab para imam tersebut.

2.  “Tidak boleh seseorang untuk berpegang dengan pendapat kami, selama ia tidak mengetahui dari (dalil) mana kami mengambilnya." (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Intiqa'u fi Fadha'ilits Tsalatsatil A'immatil Fuqaha'i, hal. 145)
Kalau demikian ini wejangan mereka pada orang yang tidak mengetahui dalil mereka, lalu bagaimana dengan perkataan mereka terhadap orang yang mengetahui bahwa dalil menyelisihi pendapat mereka kemudian berfatwa menyelisihi dalil?

3.  “Haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku."

4. "Sesungguhnya kami adalah manusia, yang mengatakan satu pendapat pada hari ini dan meralatnya di esok hari."
Demikian perkataan beliau, karena banyak beliau membangun pendapatnya di atas qiyas, kemudian muncul pada diri beliau sebuah qiyas yang lebih kuat atau sampai kepada beliau sebuah hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian beliau memegangnya dan meninggalkan pendapatnya yang lalu.

5. "Jika aku mengatakan suatu pendapat yang bertentangan dengan kitab Allah dan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah pendapatku". (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

II. IMAM MALIK BIN ANAS

1. "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Al-Kitab dan Sunnah, ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al-Kitab dan Sunnah, tinggalkanlah." (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami', 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali bisa diambil perkataannya dan bisa ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam." (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3. Ibnu Wahab berkata: Aku mendengar Malik ditanya tentang menyelah-nyelahi jari di dalam wudhu, lalu dia berkata, “Tidak ada hal itu pada manusia.” Ibnu Wahab berkata: “Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya: “Kami mempunyai sebuah sunnah tentang hal itu.” Maka dia berkata: “Apakah itu?” Aku berkata: “Telah memberitahukan kepada kami Al-Laits bin Saad dan Ibnu Lahi'ah dan Amr bin Al-Harits: dari Yazid bin Amr Al -Mu’afiri: dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al-Mustaurid bin Syidad Al-Qurasyi telah memberikan hadits kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menggosok dengan kelingkingnya apa yang ada di antara jari-jari kedua kakinya.” Maka Imam Malik berkata, "Sesungguhnya hadits ini adalah hasan. Dan aku belum mendengarnya melainkan waktu ini.” Kemudian aku mendengarnya, setelah itu dia ditanya, lalu ia memerintahkan untuk menyelah-nyelahi jari-jari. (Muqaddimah Al-Jarhu wat Ta'dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

III. IMAM ASY-SYAFII

1.  “Tidak ada seorangpun, kecuali ada satu sunnah Rasulullah yang terlewat dan terluput darinya. Maka kalau aku mengucapkan satu pendapat atau membuat satu kaedah dasar, padahal di tentang hal itu telah ada sabda dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bertentangan dengan pendapatku. Maka pendapat yang benar itu adalah yang disabdakan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Itulah pendapatku." (Tarikh Damsyiq karya Ibnu Asakir, 15/1/3)
Mengulang yang telah disampaikan di depan... Demikianlah kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan Imam Syafii. Beliau mengisyaratkan bahwa tidak ada seorang pun mengetahui as-sunnah secara keseluruhan. Kadang muncul dari mereka pendapat yang menyelisihi as-sunnah yang belum sampai kepada mereka, kemudian mereka memerintahkan kita untuk memegang teguh sunnah tersebut dan menjadikan as-sunnah tersebut sebagai madzhab para imam tersebut.

2.  "Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tidak boleh dia meninggalkannya hanya karena mengikuti perkataan seseorang." (Al-Fulani, hal. 68)

3. “Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku pendapat yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka berpendapatlah dengan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan tinggalkan pendapatku." (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam 3/47/1 dan An-Nawawi dalam Al-Majmu’ 1/63)

4. "Apabila hadits itu shahih, maka itulah madzhabku." (An-Nawawi di dalam Al-Majmu' 1/63, dan Asy-Sya'rani 10/57)
Kejelasan tentang hal ini akan dibawakan dalam pembahasan berikutnya Insya Allah.

5. "Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu dari padaku tentang hadits dan para perawi hadits. Maka jika ada sebuah hadits shahih, maka ajarkanlah kepadaku apapun adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam. Sehingga apabila shahih, aku akan bermadzhab dengannya." (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafii, 8/1)

6. "Setiap masalah yang di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam yang menyelisihi pendapatku, maka aku meralatnya baik ketika hidupku dan setelah aku mati." (Al-Harawi, 47/1)

7. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan riwayat shahih dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kalian taklid kepadaku." (Ibnu Asakir, 15/9/2)

8. “Setiap hadits Nabi yang shahih itu adalah pendapatku, meskipun kalian tidak mendengarnya dariku.” (Ibnu Abi Hatim hal 93-94)


IMAM AHMAD BIN HAMBAL

1. "Janganlah engkau taklid kepadaku dan jangan pula engkau taklid kepada Malik, Syafii, Auza'i dan Tsauri. Tapi ambillah dari mana mereka mengambil." (Al-Fulani hal 113)

2.  "Pendapat Auza'i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat semata, dan ia bagiku adalah sama. Sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits.)" (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami` 2/149)
3.  "Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi kehancuran. " (Ibnul Jauzi hal 182).


Allah berfirman:
"Maka demi Rabbmu, (pada hakekatnya) mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Nabi) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisa: 65)
&&&

Al-Imam Asy-Syafii rahimahullah, beliau berkata: "Tidak ada sesuatupun yang lebih utama setelah kewajiban-kewajiban daripada menuntut ilmu." (Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab, karya Al-Imam An-Nawawiy, 1/21)

Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Imam Asy-Syafii, "Wahai Abu Abdillah, manakah yang lebih baik bagi seseorang dibiarkan atau diuji?"

Al-Imam Asy-Syafii menjawab, "Tidak mungkin seseorang itu dibiarkan hingga ia diuji. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta'ala telah menguji Nabi Nuh, Ibrohim, Musa, 'Isa, dan Nabi Muhammad sholawatullah 'alaihim ajma'in. Maka tatkala mereka bersabar, Allah mengokohkan mereka. Tidak boleh seorang pun mengira akan lepas dari kesusahan."

Ujian merupakan suatu keharusan yang menimpa manusia dan tidak ada seorang pun yang dapat mengelak darinya. Oleh karenanya Allah subhanahu wa ta'ala menyebutkan dalam Al-Qur'an tentang keharusannya menguji manusia.

Allah berfirman, "Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, 'Kami telah beriman' sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. Ataukah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput dari (adzab) Kami? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu." (QS Al-Ankabuut: 1-4).

Allah juga berfirman, "Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan yang sebenar-benarnya. Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan." (QS Al-Anbiyaa`: 35).

Beradu pendapat yang baik adalah bertujuan untuk mencari kebenaran dan tidak terkandung maksud lainnya.

Ketika terjadi adu pendapat, berhati-hati agar tidak menjadi sebab perpecahan, pertentangan dan permusuhan antara sesama saudara sesama muslim. Dan sedikit sekali suatu perdebatan yang bisa lepas dari akibat yang seperti itu. Kita memohon kepada Allah pemafaan dan keselamatan.

Berkata Al-Imam Asy-Syafii: "Tidaklah aku berbicara kepada seorangpun begitu saja, kecuali aku suka kalau dia menunjuki aku, meluruskanku dan membantuku. ... Dan tidaklah aku berbicara kepada seorangpun begitu saja, kecuali saya tidak peduli apakah Allah menjelaskan kebenaran melalui lisanku atau lisannya." (Al-Faqiih wal Mutafaqqih 2/26 dan Aadabu Thalibil 'Ilm hal.60)

Berkata Abu Musa Yunus Ash-Shafadi: Tidak pernah saya melihat seorang yang lebih berakal dari Asy-Syafii. Suatu hari saya mendebatnya dalam suatu masalah, kemudian kami berpisah. Lalu ia menemuiku dan memegang tanganku kemudian berkata: "Wahai Abu Musa, tidakkah salah kita menjadi saudara, walaupun kita tidak sepakat dalam satu masalah?"

Imam Adz-Dzahabi berkata dalam mengomentari kejadian tersebut: " Hal ini menunjukkan kesempurnaan akal dan kefaqihan imam ini, yang mana para ahli debat itu (biasanya) senantiasa berselisih." (Siyar A'laamin Nubalaa` 10/16-17)

Imam Asy-Syafii sebagaimana yang telah lalu adalah pengikut madzhab ahlul hadits. Dan perhatikan perkataan beliau, murid beliau dan ulama lain berikut ini:
1. Dari Imam Syafi’i rohimahulloh. beliau berkata: Wajib atas kalian untuk mengikuti Ahli hadits, karena mereka lebih banyak benarnya dibanding yang lain. (Ibnu Hajar menyebutkannya di dalam Tawali Ta’sis.)

2. Dari Imam Syafi’i rohimahulloh. Beliau berkata: Ahli Hadits ada di setiap jaman, seperti sahabat rodhiyallohu 'anhu pada masa mereka. (Sya’roni menyebutkannya di dalam Al-Mizan Al-Kubro hal. 49.)

3. Dari Za’faroni Abul Ali Al-Hasan (-260 H) dari salah satu murid senior Imam Syafi’i rohimahulloh. Beliau berkata: Tidak ada diatas bumi yang lebih utama dari ahli hadits, mereka mengikuti atsar Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam. (Adz-Dzahabi menukil didalam Siyar 12/264)
4. Dari Al-Hafidz Ibnu Katsir, beliau berkata tentang firman Alloh: “Pada hari kami menyeru manusia bersama imam-imam mereka” (QS. Al-Isro’: 17). Beliau menukil dari salaf: “Ini adalah kemulian terbesar untuk ahli hadits. Karena Imam mereka adalah nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Ibnu Katsir 5/307)
***

Senin, 14 September 2009

Sesungguhnya para ahli fikih yang ditaqlidi, mereka menolak taqlid. Mereka melarang para muridnya dari taqlid kepada mereka. Yang paling keras dalam hal itu adalah Imam Asy-Syafi’i. Sesungguhnya beliau rohimahulloh sangat tegas dalam permasalahan ittiba’ (mengikuti) atsar (hadits, sunnah) yang sohih dan mengambil kandungan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, ketika yang lainnya tidak sampai, dan beliau berlepas tangan dari ditaqlidi secara global, beliau mengatakan yang demikian dengan terang-terangan. Semoga Alloh memberi manfaat yang demikian dan memperbesar pahalanya. Hal itu menjadi sebab kebaikan yang banyak. (Ibnu Hazm berkata dalam Kitab Al-Ihkam 6/118)
Al-Hakim rohimahulloh dan Al-Baihaqi meriwayatkan dari Imam AsySyafi’i, bahwa beliau berkata kepada Ibrohim Al-Muzani rohimahulloh: “Wahai Ibrohim! Janganlah kamu taqlid kepadaku pada setiap apa yang aku katakan, lihat dalam urusan hal itu untuk diri kamu, karena itu adalah agama. Bukanlah perkataan seseorang itu hujjah kecuali perkataan Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam." (Al-Yawakit karya Asy-Sya’roni).
Di dalam Al-Mizan 1/49 karya Asy-Sya’roni rohimahulloh: Imam Asy-Syafi’i berkata kepada Robi’ (murid beliau): “Wahai Abu Ishak (panggilan Robi’)! Janganlah engkau taqlid kepadaku dalam semua pendapat yang aku katakan! Perhatikan hal itu utuk diri kamu, karena sesungguhnya hal itu adalah agama.”
(Disadur dari Tarikh Ahlul Hadits, Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad-Dahlawi Al-Madany rohimahulloh)

Sabtu, 12 September 2009

Kaum muslimin semua, kita tahu bahwa para imam madzhab yang empat itu lahir setelah jaman para tabiin. Lalu sebelum mereka lahir, kaum muslimin saat itu berada di atas madzhab apa? Madzhab mereka adalah madzhab ahlul hadits, yaitu mengamalkan al-qur’an dan al-hadits (as-sunnah) dengan pemahaman Nabi shallallohu 'alaihi wa sallam, para shohabat yang mengambil dari beliau, para tabiin dan tabiut-tabi’in. Dan itulah yang dikenal dengan para ulama sebagai madzhab salaf. Kemudian setelah itu bermunculan madzhab-madzhab. Selain itu juga muncul kelompok-kelompok aliran sesat, seperti: Khowarij, Qodariyah, Syiah Rofidhoh, Sufiyah.

Sekali lagi, madzhab-madzhab selain madzhab Ahlul Hadits tersebar belakangan, belum ada pada zaman kenabian, tidak juga pada zaman para sahabat dan tabi’in, ataupun tabiut tabiin. Bahkan belum ada pada zaman imam yang empat sendiri -semoga Alloh merohmati mereka semua-!

Madzhab-madzhab itu sebenarnya muncul dan tersebar dengan sebab pemaksaan qodhi-qodhi, negara, kepemimpinan, kekuatan, dan mayoritas orang pada abad ketiga dan keempat hijriyah. Sebagaimana dijelaskan para ulama dalam tulisan-tulisan mereka.

Penyebaran Madzhab Hanafi dan Madzhab Maliki

Munculnya madzhab-madzhab itu mulai pada zaman Harun Ar-Rosyid. Ketika beliau menjadi kholifah. Ketika beliau menunjuk Abu Yusuf (murid Abu Hanifah) sebagai qodhi setelah tahun 170 H. Maka kekuasaan kehakiman ada di tangannya. Kemudian Harun Ar-Rosyid tidak menunjuk qodhi di negeri Iraq, Khurosan, Syam dan Mesir sampai di Afrika kecuali orang yang dipilih oleh Abu Yusuf!

Dia tidak menunjuk melainkan pengikut Abu Yusuf dan dan orang-orang yang menisbatkan pada madzhabnya yang baru, yaitu madzhab hanafi. Orang-orang awam dipaksa untuk mengambil hukum dengan mereka dan mengambil fatwa mereka. Sampai tersebar madzhab hanafi di negeri ini.

Sedangkan madzhab maliki tersebar di Andalus (Spanyol dan sekitarnya) dengan sebab kedudukan Yahya di sisi Al-Hakam (Penguasa Andalus). Sampai dikatakan oleh orang-orang: dua madzhab tersebar pada awal kemunculannya dengan kepemimpinan dan kekuasaan, madzhab hanafi di timur dan madzhab maliki di Andalus. Sampai disini nukilan dari Kitab Al-Khutot karya Al-Maqrizi, dan di dalam Kitab Bughyatul Multamis karya Adh-Dhobbiy, dan selain keduanya.

Syah Waliyulloh Ad-Dahlawi rohimahulloh berkata dalam Kitab Hujjatulloh Al-Balighoh: “Abu Yusuf menguasai urusan qodhi pada masa kekuasaan Harun Ar-Rosyid. Dia menjadi penyebab munculnya madzhab hanafi. Dan qodhi-qodhi dengan madzhab hanafi di seluruh penghujung negeri Iraq, Khurosan, dan sampai negeri di balik sungai. Demikian dinukil dari Kitab Tarikh Ibnu Kholdun dan Tarikh Al-Khulafa’.”

Al-Maqrizi berkata didalam Kitab Al-Khutot 2/333: “Ketika Harun Ar-Rosyid menjadi kholifah, dia menunjuk Abu Yusuf sebagai qodhi setelah tahun 170 H. Kemudian tidak diikuti secara taqlid di negeri-negeri Iraq, Khurosan, Syam dan Mesir kecuali orang yang ditunjuk oleh Abu Yusuf, dan dia menjadi sangat perhatian dengannya.

Demikian juga ketika berdiri Daulah Al-Hakam bin Hisyam di Andalus, Yahya mempunyai kedudukan di sisinya dan suaranya didengar. Maka Al-Hakam tidak menunjuk qodhi kecuali yang ditunjuk oleh Yahya. Maka madzhab malikiyah tersebar di Andalus dengan sebab Yahya, sebagaimana madzhab Hanafi tersebar di timur dengan sebab Abu Yusuf rohimahulloh. Demikian dinukil dari Kitab Bughyatul Multamis dan Naf’u At-Thoyyib.”
As-Sam’ani rohimahulloh berkata dalam Kitab Al-Ansab 1/503 yang dicetak di London: “Al-Malikiy, adalah penisbatan kepada Imam Malik rohimahulloh. Ibrohim bin Mahmud bin Hamzah Al-Malikiy rohimahulloh berkata: Muhammad bin Abdul Hakam rohimahulloh berkata kepadaku: Tidak ada orang Khurosan yang datang kepada kami yang lebih mengenal jalannya Malik dari pada engkau, maka jika kamu kembali ke Khurosan ajaklah manusia kepada pendapat Malik rohimahulloh! Ibrohim meninggal pada bulan sya’ban 369 H.”

Al-Maqrizi rohimahulloh di dalam Kitab Al-Khutot 3/333 berkata: “Afrika awalnya berada di atas sunnah-sunnah dan atsar, sampai Abdulloh bin Farrukh Abu Muhammad Al-Farisi rohimahulloh datang dengan madzhab hanafi. Kemudian Asad bun Furot bin Sinan rohimahulloh menguasai qodhi afrika dengan madzhab Hanafi.

Kemudian ketika Sahnun bin Said At-Tanuji rohimahulloh menjadi qodhi afrika setelah itu, dia menyebarkan madzhab malikiyah di antara orang-orang afrika. Kemudian Al-Mu’iz bin Badis membebani orang-orang afrika untuk berpegang dengan madzhab malikiy dan meninggalkan yang selainnya. Maka orang-orang afrika dan orang andalus memegang ke madzhab malikiyah sampai hari ini, dengan mencari apa yang ada pada sisi penguasa, dan semangat dalam mencari dunia. Karena urusan qodhi dan fatwa di seluruh negeri tidak ada kecuali dimiliki orang yang disebut dengan fikih di atas madzhab malikiyah. Maka oang-orang awam dipaksa untuk mengambil hukum dan fatwa mereka. Madzhab malikiyah tersebar di sana secara merata di daerah-daerah itu. Sebagaimana madzhab hanafi tersebar di negeri timur, ketika Abu Hamid Al-Isfaroyini rohimahulloh mempunyai kedudukan disisi kholifah Al-Qodir billah Abul Abas Ahmad –pada tahun 373 H-, dan sampai ke negeri Syam dan Mesir.”

Ibnu Farhun rohimahulloh berkata di dalam Kitab Ad-Dibaj: “Sesungguhnya madzhab Hanafi nampak kuat di Afrika sampai mendekati tahun 400 H.”

Dan yang dipegang oleh orang Afrika dulunya adalah hadits dan atsar. Kemudian madzhab Hanafi menguasainya, sebagaimana dijelaskan pada yang telah lalu. Ketika Al-Mu’iz Ibnu Badis berkuasa tahun 407 H, dia membebani penduduk Afrika dan negeri Magribidengan madzhab Malikiy. Dia memutuskan perselisihan di antara madzhab-madzhab. Demikan nukilan secara ringkas dari Kitab Kamil karya Ibnul Atsir, Tarikh karya Ibnu Kholikan, Mawasimul Adab dan Kitab Al-Khutot 2/333.

Penyebaran Madzhab Syafii

Ibnu Farhun rohimahulloh di dalam Kitab Ad-Dibaj dan ‘Abdul Hayyi Al-Luknawi di dalam Kitab Al-Fawaid Al-Bahiyah berkata: “Pengarang Kitab Thabaqat [Thobaqot] menyebutkan bahwa kemunculan madzhab Syafi’i pertama kali di Mesir, kemudian menjalar ke kebanyakan negeri Khurosan, Tauron, Syam, Yaman dan daerah di belakang sungai, negeri Persia, Hijaz dan sebagian negeri India. Juga sedikit masuk ke negeri Afrika dan Andalus setelah tahun 300 H.

Ibnu Hajar rohimahulloh di dalam Kitab Rof’ul Isror, As-Sakhowi rohimahulloh di dalam Kitab Al-I’lan bi At-Taubih, dan Ibnu Tulun rohimahulloh di dalam Ats-Tsaghr Al-Bassam menyebutkan: “Bahwa Ibnu ‘Utsman Ad-Dimasyqi Al-Qodhi, dialah yang pertama kali memasukkan madzhab syafi’i ke Syam. Dia diserahi untuk memegang jabatan qodhi di Damsyiq dan dia berhukum dengan madzhab syafi’i. Kemudian orang-orang setelahnya mengikutinya. Dia memberi 100 dinar bagi orang yang hafal Mukhtasor Al-Muzaniy. Dia meninggal tahun 303 H”.

As-Sam’aniy rohimahulloh di dalam Kitab Al-Ansab 1/336 berkata: “Syafi’i, penisbatan kepada Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rohimahulloh. Abu Ali Al-Hasan bin Abdurrohman Al-Hasyimi rohimahulloh yang meninggal pada tahun 470 H lebih di Mekah, menisbatkan kepada madzhab Syafi’i. Suatu kali dia disebut Asy-Syafi’i.”
As-Sam’ani berkata: “karena aku mendengar Abu Al-‘Ula’ Ahmad berkata: Aku mendengar Abu Al-Fadhl Ahmad Al-Maqdisi berkata: Abu Ali ditanya tentang penisbatan madzhab ini. Maka Abu Ali berkata: “Ada seorang di suatu kaum menulis untuk dirinya Asy-Syafi’i! Kemudian penisbatan ini menjadi tsabit /tetap pada kami.”” Demikian dinukil secara ringkas.

Di dalam Kitab Tobaqot As-Subki dan Kitab Al-I’lan Wa At-Taubikh dan Syadzarotudz-Dzahab 3/51: "Sesungguhnya madzhab syafi’i tersebar di daerah seberang sungai Qofal Syasyi, dan dia meninggal tahun 365 H."

Dan di dalam Kitab Tarikh Ibnu Kholikan jilid kedua, dibawah judul Tarjamah (Riwayat hidup) An-Nashir Sholahuddin Yusuf bin Ayub: "Ketika Daulah Al-Ayubiyyah berkuasa pada abad kelima di Mesir, dia menghidupkan madzhab-madzhab dengan mendirikan madrasah-madrasah untuk para fuqoha’ dan dengan cara-cara yang lainnya. Madzhab Syafi’i mendapat perhatian yang sangat besar darinya. Qodhi-qodhi mengkhususkan madzhab syafi’i sebagai madzhab negara. Dan dinasti Ayub semuanya bermadzhab syafi’iy kecuali Isa bin Al-’Adil.”

Al-Maqrizi di dalam 3/344 berkata: “Kemudian ketika Daulah Turki Al-Bahriyah berkuasa, -sulthonnya adalah seorang bermadzhab syafi’i- terus-menerus memakai qodhi yang bermadzhab syafi’i, sampai Sulthon Al-Malik Adh-Dhohir Bibrus menjadikan qodhi terdiri dari empat madzhab, yaitu Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hambali. Terus hal itu terjadi pada tahun 665 H, sampai tidak tertinggal di kota-kota Islam selain madzhab-madzhab yang empat ini, dengan aqidah Asy’ariyah. Dan madzhab yang empat dan aqidah Asy’ariyah ini dipakai oleh para penganutnya di madrasah-madrasah dan yang lainnya diseluruh kerajaan Islam."

Adapun tentang Aqidah Asy'ariyah dan pencetusnya Insya Allah akan disampaikan pada kesempatan yang lain.

(Sumber: Tarikh Ahlul Hadits, Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad-Dahlawi Al-Madany rohimahulloh)
***

Rabu, 09 September 2009

Imam Syafi’i rohimahulloh berada di atas madzhab ahli hadits, bahkan beliau termasuk mubaligh/ penyampai madzhab ahli hadits. Hal ini ditunjukkan oleh perkataan Imam Nawawi di dalam Tahdzib Asma wa Lughot (1/44) tentang riwayat hidup Imam Syafi’i: “kemudian beliau mengadakan perjalanan ke Iraq, menyebarkan ilmu hadits dan menegakkan madzhab ahlinya, yaitu madzhab ahli hadits.”

Imam Syafi’i rohimahulloh juga mengambil ilmu dari Imam Malik, kemudian menulis kitab-kitab ahli Iraq, beliau mengambil ahli hadits dan memilihnya bagi dirinya.
Imam Syafi’i rohimahulloh, beliau berkata: “Jika aku melihat seorang ahli hadits, maka seakan-akan aku melihat nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam hidup. (Kitab Syaraf Ashabil Hadits hal. 47 dengan sanad yang bersambung).

Imam Syafi’i rohimahulloh, beliau berkata: “Setiap permasalahan yang tentangnya telah sohih dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam disisi ahli naql (penukil hadits) menyelisihi apa yang aku katakan, maka aku ruju’ darinya baik saat masa hidupku atau saat masa matiku”(Riwayat Abu Nu’aim di dalam Al-Hilyah 9/107).

Imam Syafi’i berkata kepada Imam Ahmad bin Hambal rohimahulloh: "Wahai Abu Abdillah (kunyah Imam Ahmad)! Engkau lebih mengetahui hadits daripada aku, maka kalau ada hadits shohih, beritahukanlah kepadaku sehingga aku bisa mencarinya; apa itu berasal dari syam, atau dari kufah atau dari bashroh.” (Riwayat Ibnu Abi Hatim di dalam Adab Asy-Syafi’i hal. 94-95)

Ibnu Muflih dalam Kitab Al-Adab Asy-Syar’iyah 3/153: Al-Buwaithi rohimahulloh –murid Asy-Syafi’i rohimahulloh-: Aku mendengar Asy-Syafi’i berkata: Aku telah menulis kitab ini padahal aku belum meneliti ulang di dalamnya, maka semestinya ditemukan di dalamnya kesalahan, karena Alloh berfirman: “Kalau seandainya Al-Qur’an itu dari sisi selain Alloh maka mereka akan menemukan didalamnya perselisihan yang banyak” (An-Nisa: 82). Maka apapun yang kalian temukan dalam kitab-kitabku ini yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah maka aku telah ruju’ darinya.”

Imam Syafi’i, beliau tidak mempunyai kitab tersendiri yang membahas ilmu furu’. Kitab beliau Al-Umm dan Ar-Risalah membahas dalam masalah ushul fikih. Padahal beliau juga menyatakan ada kesalahan dalam tulisannya tersebut, dan Beliau ruju’ ketika masa hidupnya. Sebagaimana dinukil oleh murid beliau Al-Jalil Al-Buwaithi rohimahulloh. Al-Buwaithi berkata: aku mendengar Imam Syafi’i berkata: “Aku telah menulis kitab ini, dan aku belum meneliti ulang apa yang dikandungnya, sudah semestinya didalamnya akan ditemukan kesalahan, karena Alloh berfirman:
“Kalau seandainya ia berasal dari selain Alloh maka mereka akan menemukan didalamnya perselisihan yang banyak” (QS. An-Nisa’: 82)
Maka apa yang kalian temui dalam kitabku ini, perkara-perkara yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah maka sungguh aku telah ruju’ darinya.” (Lihat Kitab Al-Adab Asy-Syar’iyah 3/154).

(Disadur dari Tarikh Ahlul Hadits, Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad-Dahlawi Al-Madany rohimahulloh)

Berikut ini kitab-kitab ulama yang bermadzhab syafiiyah yang bisa didownload.
Bentuknya adalah file berekstensi chm (compiled HTML help file), doc, pdf, atau exe. Silahkan untuk mendownload. Semoga Alloh memberi manfaat dengannya:
1. Kitab-kitab Al-Imam As-Syafii rohimahulloh (-204 H) berbahasa arab
Ikhtilaf Al-Hadits (اختلاف الحديث), Kitab Ahkamul Qur'an Lisy Syafii (أحكام القرآن للشافعي), Jima' Al-Ilmi (جماع العلم), Al-Umm (الأم )
Diwan Al-Imam Asy-Syafii (ديوان الإمام الشافعي رحمه الله)
I'tiqad Al-Imam Asy-Syafii (اعتقاد الإمام الشافعي)

2. Kitab-kitab Al-Imam Ismail Al-Muzani rohimahulloh (175-264 H) berbahasa arab
Kitab Muktashor Al-Muzani (مختصر المزني) atau di sini.
Risalah Syarh As-Sunnah (إسماعيل بن يحيى المزني ورسالته شرح السنة) dalam masalah aqidah.

3. Kitab-kitab Ibnul Munzhir rohimahulloh (242-319 H) berbahasa arab
Kitab Al-Ijma' (كتاب الإجماع), Al-Ausath Fis Sunan Wal Ijma' Wal Ikhtilaf (الأوسط في السنن والإجماع والاختلاف), Kitab Tafsir Al-Qur'an (كتاب تفسير القرآن ( تفسير ابن المنذر)

4. Kitab-kitab Al-Imam Abu Utsman Ash-Shobuni rohimahulloh ( -449 H) berbahasa arab

Risalah Fil Aqidah Ahlil Atsar

5. Kitab-kitab Al-Imam Al-Mawardi rohimahulloh (364-450 H) berbahasa arab
Al-Hawi Fi Fiqhi Asy-Syafii (الحاوي في فقه الشافعي), Al-Ahkam Ash-Shulthoniyah (الأحكام السلطانية), Al-Iqna' Fi Fiqh Asy-Syafii (الإقناع في الفقه الشافعي)

6. Kitab-Kitab Karya Al-Imam An-Nawawi rohimahulloh (-676 H) berbahasa arab
Berisi kitab-kitab: Adab Al-Fatwa Wa Al-Mufti Wa Al-Mustafti, Al-Adzkar, Al-Arbaun An-Nawawiyyah, At-Tibyan Fii Adab Hamalah Al-Qur'an, Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab, Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim bin Al-Hajjaj, Bustan Al-'Arifin, Riyadhush Sholihin, Tahdzib Al-Asma' Wal Lughoh, Juz' Fiihi Dzikr I'tiqod As-Salaf Fii Al-Huruf Wa Al-Aswath, Minhaj Ath-Tholibin Wa 'Umdah Al-Muftin Fi Al-Fiqh, Khulashoh Al-Ahkam Fii Muhimmat As-Sunan Wa Qowa'id Al-Islam, Roudhoh Ath-Tholibin Wa 'Umdah Al-Muftin dan lainnya.

7. Kitab-Kitab Karya Al-Hafizh Ibnu Katsir (-774 H) berbahasa arab
Berisi kitab-kitab: Al-Ba'its Al-Hatsits Fii Ikhthishor 'Ulum Al-Hadits, Al-Bidayah Wa An-Nihayah, As-Siroh An-Nabawiyyah, Tuhfah Ath-Tholib Bi Ma'rifah Ahadits Mukhtashor Ibnu Hajib, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, Qoshosh Al-Anbiya, dan An-Nihayah Fi Al-Fitan dan Al-Malahim.

Fadhail Al-Qur'an (فضائل القرآن) dalam file pdf.

8. Kitab-Kitab Karya Al-Hafizh Adz-Dzahabi (bahasa arab)
Berisi kitab-kitab: Al-'Ibar Fi Khobar Man Ghobar, Al-Kabair, Al-Mauqizhoh Fi Ilm Mushtholah Al-Hadits, Tarikh Al-Islam, Tadzkiroh Al-Hufzah, Haqq Al-Jar, Siyar A'lam An-Nubala, Mukhtashor Tarikh Ibnu Ad-Dabitsi, Mizan Al-I'tidal Fii Naqd Ar-Rijal, Al-'Arsy, Mukhtashor Al-'Uluw Li Al-'Ali Al-'Azhim, At-Tamasuk Bis-Sunan Wa At-Tahdzir Min Al-Bida' dan lainnya.

9. Kitab-Kitab Karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani (bahasa arab)
Berisi kitab-kitab: Al-Ishobah Fii Ma'rifah Ash-Shohabah, At-Talkhish Al-Habir Fii Ahaiits Ar-Rofii Al-Kabir, Ad-Diroyah Fii Takhrij Ahadits Al-Hidayah, An-Nukat 'Ala Kitab Ibn Ash-Sholah, Bulughul Marom Min Adilatil Ahkam, Taghliq At-Ta'liq 'Ala Shohih Al-Bukhori, Taqrib At-Tahdzib, Fathul BAri Syarh Shohih Al-Bukhori, Tahdzib At-Tahdzib, Lisan Al-Mizan dan lainnya.

10. Kitab-Kitab Karya Al-Imam As-Suyuthi (bahasa arab)Berisi kitab-kitab: Asror Tartib Al-Qur'an, Tuhfah Al-Abror Bi Nukat Al-Adzkar Li An-Nawawiy, Tanwir Al-Hawalik Syarh Muwatho' Malik, Husn Al-Muhadhoroh Fii Akhbar Mishr Wa Al-Qohiroh, Shifah Shohib Adz-Dzuq As-Salim Wa Maslub Adz-Dzuq Al-Laim, Tobaqot Al-Mufassirin, Lubb Al-Lubab Fii Tahrir Al-Ansab, Lubab An-Nuqul Fii Asbab An-Nuzul, Mathla' Al-Badriyyin Fii Man Yu'ta Ajruhu Marrotain, Mimma Rowahu Al-Asathin Fii 'Adam Al-Maji' Ila As-Salathin, Nuzhah Al-Julasa' Fii Asy-'ar An-Nisa', dan lainnya.

Kitab Al-Amru Bi Al-Ittiba Wa An-Nahyu 'An Al-Ibtida', karya Al-Imam As-Suyuthi (bahasa arab)
Kitab ini membahas tentang bid'ah-bid'ah yang menyelisihi syariat Islam. Begitu juga memuat perkataan para imam, termasuk Imam Asy-Syafii untuk berpegang teguh dengan sunnah.

11. Kitab Tahdzib Al-Kamal karya Al-Hafizh Al-Mizzi (bahasa Arab)

12. Kitab lainnya menyusul Insya Alloh.

Sedang berikut ini kitab-kitab dan buku-buku lain yang bermanfaat. Bisa langsung didownload:
1. Al-Qur’an bersama tafsir-tafsir ulama ahlussunnah (bahasa Arab)
Program Al-Qur'an Al-Karim yang lengkap dengan syakal, dilengkapi dengan Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Jalalain, Tafsir Ad-Durar Al-Mantsur, Tafsir Fathul Qadir, Tafsir Al-Baghawi dan lainnya, disertai dengan Terjemah bahasa Inggris dan bahasa Perancis.

2. Al-Qur’an Digital dengan terjemah Depag RI (bahasa Indonesia)

3. Al-Qur’an dengan terjemahnya berbagai bahasa
Program ini dilengkapi dengan Asbabun Nuzul, dan beberapa terjemah, yaitu: Bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, Indonesia, dan Rusia.

4. Shohih Al-Bukhori (bahasa Arab)

5. Shohih Muslim (bahasa Arab)

6. Terjemah Shohih Al-Bukhori (bahasa Inggris)

7. Terjemah Shohih Muslim (bahasa Inggris)

8. Kholq Af'al Al-'Ibad karya Imam Al-Bukhari (bahasa Arab)

9. Al-Ibanah Fi Ushul Ad-Diyanah karya Al-Imam Abul Hasan Al-Asy'ari (الإبانة عن أصول الديانة لأبي الحسن الأشعري)

10. Kitab lainnya menyusul Insya Alloh.

Lima Landasan dalam Beraqidah Tauhid
Oleh: Al-Imam As-Son'ani

Ada beberapa landasan yang termasuk kaidah-kaidah dalam agama dan termasuk perkara yang paling penting yang harus diketahui oleh orang-orang yang bertauhid.
***
Landasan Pertama
Bahwasanya telah diketahui secara otomatis dalam agama bahwa semua yang terdapat dalam Al-Qur'an adalah haq bukan kebathilan, kejujuran bukan kedustaan, petunjuk bukan kesesatan, ilmu bukan kebodohan, keyakinan yang tidak ada keraguan di dalamnya. Tidak sempurna keislaman dan keimanan seseorang kecuali dengan menetapkan landasan ini. Perkara ini adalah perkara yang telah disepakati atasnya dan tidak ada perselisihan padanya.

Landasan Kedua
Bahwa para rasul dan Nabi Allah -dari yang pertama sampai yang terakhir- diutus untuk mengajak para hamba agar menunggalkan Allah dengan menunggalkan ibadah (hanya kepadaNya). Dan setiap Rasul, awal kali yang mereka perdengarkan kepada kaumnya adalah firman Allah:

“Wahai kaumku sembahlah hanya kepada Allah, sama sekali tidak ada bagi kalian sembahan yang haq kecuali Dia.”(Al-A’raf: 59).

“Janganlah kalian menyembah kecuali hanya kepada Allah.” (Hud: 2).

“Sembahlah hanya kepada Allah dan bertaqwalah kalian kepadaNya dan taatilah Aku.” (Nuh: 3).

Inilah yang dikandung oleh ucapan “Laa Ilaha Illallah”. Karena para Rasul mengajak umat-umat mereka untuk mengucapkan kalimat ini dan meyakini maknanya bukan sekedar mengucapkannya dengan lisan. Makna Laa Ilaha Illallah adalah menunggalkan Allah dalam Ilahiyah dan Ibadah dan menolak segala sesuatu yang disembah dari selain Allah serta berlepas diri darinya. Landasan ini tidak diperdebatkan dan diragukan lagi, dan tidaklah sempurna keimanan seseorang sampai ia mengetahui dan mewujudkannya.

Landasan Ketiga
Bahwa Tauhid terbagi dua:

1. Tauhid Ar-Rububiyyah, Al-Khalqiyyah, Ar-Raaziqiyyah, dan yang semisalnya. Maknanya: bahwa hanya Allah subhanahu wa ta'ala semata Yang Maha Mencipta seluruh alam semesta, Allah lah Rabb mereka, dan Allah lah yang memberikan rezki kepada mereka. Ini tidak diingkari oleh orang-orang musyrik. Mereka tidak menyekutukan Allah pada tauhid jenis ini, bahkan mereka menetapkannya sebagaimana yang akan datang pada 'landasan keempat'.

2. Tauhid Ibadah. Maknanya adalah menunggalkan Allah semata pada seluruh jenis ibadah yang akan datang penjelasannya. Pada landasan inilah orang-orang musyrik mempersekutukan Allah. Lafazh “sekutu” memberikan kesan penetapan ibadah kepada Allah.

Para Rasul diutus untuk menetapkan yang pertama (Tauhid Rububiyyah) dan mengajak orang-orang musyrik kepada yang kedua (Tauhid Ibadah), seperti ucapan para Rasul ketika berkata kepada orang-orang musyrik:

“Apakah ada keraguan pada Allah yang mengatur langit-langit dan bumi?” (Ibrahim: 10).

“Apakah ada pencipta selain Allah yang memberi kalian rezki dari langit dan bumi? Tidak ada sembahan yang haq kecuali Dia”. (Fathir: 3).

Mereka melarang dari kesyirikan dalam ibadah. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:

“Dan sungguh kami telah mengutus seorang Rasul pada setiap ummat menyerukan sembahlah hanya kepada Allah dan jauhilah menyembah thaghut.” (An-Nahl: 36).

Yaitu para Rasul mengatakan kepada ummat-ummat mereka “sembahlah hanya kepada Allah”. Firman Allah “pada setiap ummat” memberikan faedah bahwa: tidaklah diutus para Rasul kepada seluruh ummat, kecuali untuk menuntut penunggalan ibadah hanya kepada Allah, bukan sekedar pengenalan bahwa Allah Ta’ala Dialah yang Maha Mencipta seluruh alam semesta dan bahwa Dia adalah Rabbnya langit dan bumi, karena mereka sesungguhnya telah menetapkan hal tersebut.

Oleh karena itu, tidaklah datang penyebutan dalam ayat-ayat Al-Qur'an tentang tauhid rububiyyah -secara umum- kecuali dalam bentuk istifham at-taqrir (pertanyaan yang mengandung penetapan) seperti firman Allah Ta’ala:

“Apakah ada pencipta selain Allah?” (Fathir: 3).

“Apakah yang menciptakan sama seperti yang tidak bisa menciptakan?” (An-Nahl: 17).

“Apakah ada keraguan pada Allah yang mengatur langit dan bumi?" (Ibrahim: 10).
“Apakah selain Allah yang mengatur langit dan bumi saya jadikan sebagai penolong?” (Al-An’am: 14).

"Ini adalah ciptaan Allah! Maka perlihatkanlah kepadaku apa yang diciptakan oleh selain Allah.” (Luqman: 11).

“Perlihatkanlah oleh kalian kepadaku apa yang mereka (selain Allah) telah ciptakan dari bumi! Apakah mereka memiliki campur tangan pada (penciptaan) langit?” (Al-Ahqaf: 4).

Ini adalah Istifham At-Taqrir untuk mereka, sebab mereka menetapkan hal tersebut.

Dengan hal ini, kita mengetahui bahwa orang-orang musyrik tidaklah mengambil dan menyembah patung-patung dan berhala-berhala, dan menjadikan Al-Masih dan ibunya serta para malaikat sebagai sekutu bagi Allah karena mereka semua bersekutu dengan Allah dalam penciptaan langit dan bumi serta penciptaan diri mereka, akan tetapi orang-orang musyrik menjadikan mereka sembahan selain Allah karena sesembahan tersebut dapat mendekatkan orang-orang musyrik tersebut kepada Allah dengan sedekat-dekatnya, sebagaimana yang mereka katakan. Mereka mengakui Allah pada kalimat-kalimat kekafiran mereka sendiri, dan bahwa mereka (sembahan selain Allah) adalah pemberi syafaat di sisi Allah. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan mereka menyembah kepada selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberikan manfaat dan mudharat bagi mereka dan mereka mengatakan bahwa mereka (sembahan selain Allah) adalah pemberi syafaat di sisi Allah. Maka katakanlah apakah kalian mau memberitahukan kepada Allah apa-apa yang tidak diketahuiNya di langit dan bumi. Maha suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.” (Yunus: 18).

Allah menjadikan perbuatan mereka mengambil pemberi syafaat sebagai bentuk kesyirikan dan Allah mensucikan diriNya dari perkara tersebut, sebab tidak ada seorang pun yang mampu memberikan syafaat di sisiNya kecuali dengan izinNya. Maka bagaimanakah mereka menetapkan pemberi syafaat bagi mereka dari (orang-orang) yang tidak diizinkan oleh Allah dan tidak berhak untuk memberi syafaat tersebut, dan tidak mampu mencukupi mereka sedikitpun dari Allah Ta’ala.

Landasan Keempat
Orang-orang yang musyrik -yang Allah mengutus para Rasul kepada mereka- menetapkan bahwa Allah adalah Pencipta mereka:

“Dan kalau kamu bertanya pada mereka siapakah yang menciptakan mereka, maka mereka akan menjawab Allah!” (Az-Zukhruf: 87).

“Dan jika kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Mereka pasti akan menjawab, yang telah menciptakan mereka adalah Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Berilmu.” (Az-Zukhruf: 9).

Mereka meyakini bahwa hanya Allah Ta’ala yang Maha Mampu memberikan rezki, yang mampu untuk mengeluarkan yang hidup dari yang mati, yang mati dari yang hidup, dan bahwa Allah semata yang Maha Mengatur segala perkara dari langit ke bumi, dan Dialah semata yang menguasai pendengaran, penglihatan, dan hati.

"Katakanlah (kepada orang-orang musyrik): Siapakah yang memberi kalian rezki dari langit dan bumi atau siapakah yang mengatur seluruh urusan? Maka mereka akan menjawab: Allah. Katakanlah: Mengapakah kalian tidak bertaqwa?" (Yunus: 31).

“Katakanlah: Kepunyaan siapakah bumi beserta isinya apabila kalian mengetahuinya? Maka mereka menjawab: Allah. Katakanlah: Mengapa kalian tidak mengingatnya? Katakanlah: Siapa Rabb langit yang tujuh dan Rabb ‘Arsy yang besar? Mereka akan menjawab: Allah. Katakanlah: Mengapa kalian tidak bertaqwa? Katakanlah: Siapakah yang di tangannya kekuasan segala sesuatu dan Dialah yang Maha melindungi dan tidak butuh perlindungan dari yang lain, apabila kalian mengetahuinya? Mereka akan menjawab: Allah. Katakanlah: Bagaimanakah kalian tersihir?”(Al-Mukminuun: 84-89).

Dan inilah Fir’aun, bersamaan dengan perbuatannya yang melampaui batas dalam kekafiran, mengaku dengan pengakuan yang paling jelek (mengaku sebagai robb yang paling tinggi), dan mengucapkan kalimat yang keji, Allah mengisahkan tentang Nabi Musa Alaihis salam yang berkata kepada Fir'aun:

“Sungguh kamu telah mengetahui tidak ada yang menurunkan semua itu kecuali Rabb langit dan bumi sebagai keterangan- keterangan.” (Al-Isra: 102).

Dan Iblis telah berkata:
“Sesungguhnya saya takut kepada Allah Rabbnya Alam semesta.” (Al-Hasyr: 16).

Dan dia juga berkata:
“Wahai Rabbku, disebabkan engkau telah menetapkan aku sebagai orang yang sesat ….” (Al-Hijr: 39).

Dan ia juga berkata:
“Wahai Rabbku tangguhkanlah aku!” (Al-Hijr: 36).

Dan setiap orang musyrik menetapkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Penciptanya, Pencipta langit dan bumi, Pemelihara langit, bumi, beserta isinya, dan Dialah yang memberikan rezki kepada mereka. Oleh karena itu, para Rasul berhujjah kepada mereka dengan ucapan:

"Apakah yang menciptakan sama seperti yang tidak menciptakan?” (An-Nahl: 17)

dan ucapan mereka:

“Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah mereka tidak mampu menciptakan lalat walaupun mereka bersepakat untuk itu.” (Al-Hajj: 73)

Maka orang-orang musyrik menetapkan hal tersebut (Tauhid Ar-Rububiyyah) dan tidak mengingkarinya.

Landasan Kelima
Sesunguhnya ibadah adalah puncak bab ketundukan dan kerendahan diri, dan tidak dipergunakan kecuali pada ketundukan kepada Allah, karena Dialah pemberi (yang mencurahkan) kenikmatan yang terbesar. Oleh sebab itulah, Dialah yang paling berhak untuk diibadahi dengan puncak ketundukan sebagaimana dalam Kitab Al-Kasysyaf .

Kemudian, sesungguhnya inti dan pondasi ibadah adalah mentauhidkan Allah, Tauhid yang dikandung oleh kalimatNya yang didakwahkan oleh semua para Rasul, yaitu kalimat Laa Ilaha Illallah. Dan yang diinginkan adalah meyakini maknanya, mengamalkan keharusannya, bukan sekedar mengucapkan dengan lisan.

Dan makna Laa Ilaha Illallah adalah: menunggalkan Allah dalam Ibadah dan Ilahiyah (penghambaan), menafikan dan berlepas diri dari seluruh sembahan selain Allah. Dan orang-orang kafir telah mengetahui makna ini, sebab mereka adalah orang yang berbahasa Arab. Maka mereka berkata:

“Apakah dia (Muhammad) menjadikan sembahan yang banyak menjadi satu sembahan saja? Sungguh ini perkara yang mengherankan.” (Shaad: 5).
***

(Dinukil dari: Sucikan Aqidah Anda, Penerbit Gema Ilmu, Jogjakarta, bagi yang ingin mendapatkannya secara lengkap, bisa melihatnya di: www.gema-ilmu.com || gemailmujogja@gmail.com)

Selasa, 08 September 2009

Beliau adalah Muhammad bin Ismail bin Shalah Al Amir Al Kahlani Ash Shan’ani. Beliau dilahirkan pada tahun 1059 H di daerah yang bernama Kahlan, kemudian beliau pindah bersama ayahnya ke Kota Shan’a, ibukota Yaman.

Beliau menimba ilmu dari ulama yang berada di Shan’a kemudian beliau rihlah (melakukan perjalanan) ke Kota Makkah dan belajar hadits di hadapan para ulama besar yang ada di Makkah dan Madinah.

Beliau menguasai berbagai disiplin ilmu sehingga beliau mengalahkan teman-teman seangkatannya. Beliau menampakkan kesungguhan dan berhenti ketika ada dalil serta jauh dari taklid dan tidak memperdulikan pendapat-pendapat yang tidak ada dalilnya.

Beliau mendapatkan ujian dan cobaan yang menimpa semua orang yang mengajak kepada kebenaran dan mendakwahkannya secara terang-terangan pada masa-masa penuh fitnah dari orang yang semasa dengan beliau. Namun Allah menjaga beliau dari makar mereka dan melindungi beliau dari kejelekan mereka.

Khalifah Al Manshur yang termasuk penguasa Yaman mempercayakan kepada beliau untuk memberikan khutbah di Masjid Jami’ Shan’a. Beliau terus menerus menyebarkan ilmu dengan cara mengajar, memberi fatwa dan mengarang. Beliau tidak pernah takut terhadap celaan orang-orang ketika beliau berada dalam kebenaran dan beliau tidak peduli dalam menjalankan kebenaran akan ditimpa ujian sebagaimana telah menimpa orang-orang yang mengikhlaskan agama mereka untuk Allah, beliau lebih mendahulukan keridhaan Allah di atas keridhaan manusia.

Sangat banyak orang-orang yang datang menimba ilmu dari beliau, mulai dari orang-orang yang khusus maupun masyarakat umum. Mereka mempelajari berbagai kitab-kitab hadits di hadapan beliau. Dan mereka mengamalkan ijtihad-ijtihad beliau dan menampakkannya di hadapan orang banyak.

Beliau memiliki banyak karangan. Di antaranya:
1. Subulus Salam
2. Minhatul Ghaffar
3. Syarhut Tanfih Fi Ulumil Hadits, dan lain-lain.

Beliau memiliki karangan-karangan lain yang ditulis secara terpisah yang seandainya dikumpulkan maka akan menjadi berjilid-jilid.

Beliau memiliki syair yang fasih dan tersusun rapi, yang kebanyakannya tentang pembahasan-pembahasan ilmiah dan bantahan terhadap orang-orang di zaman beliau. Kesimpulannya beliau termasuk seorang ulama yang melakukan pembaharuan terhadap agama.

Beliau wafat pada 3 Sya’ban 1182 H dengan umur 123 tahun. Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas.

(Diterjemahkan secara bebas dari Muqadimah Kitab Subulus Salam)

Nasabnya: Beliau adalah Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris yang bersambung nasabnya dengan Hasyim bin Al-Muththolib bin ‘Abdi Manaf Al-Qurosyi Al-Muththolibi.

Kelahiran dan Pertumbuhannya: Beliau lahir di ‘Asqolan pada tahun 150 H, dan tumbuh besar di Makkah. Kemudian tinggal di Mesir, dan meninggal pada hari terakhir bulan Rojab 204 H.

Hapalan Qur’an dan Semangat Beliau dalam menuntut ilmu syar’i:

Al-Muzani berkata: Aku mendengar As-Syafii berkata: “Aku menghapal Al-Qur’an pada umur tujuh tahun, dan aku menghapal Al-Muwaththo (karya Al-Imam Malik) pada umur sepuluh tahun.”
Asy-Syafii rohimahulloh berkata: “Senantiasa semangatku ada dalam dua perkara: memanah dan menuntut ilmu syar’i.”

Seorang imam dalam lughoh (bahasa arab)
Abul Walid Ibnu Abil Jarud berkata: “Dulu dikatakan bahwa Asy-Syafii adalah lughoh itu sendiri yang dijadikan sebagai hujjah.”

Seorang Imam dalam Fiqih
Ahmad bin Ali Al-Jurjani berkata: “Dulu Al-Humaidi jika menyebut Asy-Syafii, dia mengatakan: ‘Telah memberitahukan kepada kami Sayyidnya para ahli fiqih, Al-Imam Asy-Syafii’.”
Yahya bin Said Al-Qoththon berkata: “Tidaklah aku melihat orang yang lebih berakal dan lebih faqih daripada Asy-Syafii.”
Ali bin Al-Madini berkata kepada anaknya: “Jangan engkau meninggalkan satu huruf pun dari ucapan Asy-Syafii untuk ditulis, sesungguhnya dia memiliki ma’rifah (pengetahuan tentang agama).”

Imam dalam Ushul:
Beliaulah yang pertama kali membuat tulisan dalam ushul fiqih sebagai satu ilmu tersendiri.

Pembela hadits:
Harmalah berkata: Aku mendengar Asy-Syafii berkata: “Aku dijuluki di Baghdad sebagai pembela hadits.”

Mujaddid Abad kedua hijriyah
Ahmad bin Hanbal berkata: “Sesungguhnya Allah menakdirkan untuk manusia pada setiap 100 tahun orang yang mengajari mereka sunnah-sunnah Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam, dan meniadakan kedustaan atas Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian kami memperhatikan ternyata pada awal tahun seratus adalah Umar bin Abdul Aziz, dan pada awal tahu dua ratus adalah Asy-Syafii.”

Doa para ulama untuk beliau
Ahmad bin Hanbal berkata: “Tidaklah aku melewati malam selama 30 tahun, melainkan aku berdoa kebaikan kepada Allah untuk Asy-Syafii dan memohonkan ampun untuk beliau.”
Abdurrohman bin Mahdi berkata: “Aku tidak menunaikan satu sholat pun melainkan aku mendoakan kebaikan untuk Asy-Syafii di dalam sholat itu.”
Yahya bin Said Al-Qoththon berkata: “Tidaklah aku melihat seorang yang lebih berakal dan lebih faqih daripada Asy-Syafii. Dan aku berdoa kebaikan kepada Allah untuk beliau, aku khususkan beliau saja dalam setiap sholat.”

Dan keutamaan Al-Imam Asy-Syafii sangatlah banyak dan terkenal sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar. Dan hal itu telah dikumpulkan oleh Ibnu Abi Hatim, Zakariya As-Saji, Al-Hakim, AL-Baihaqi, Al-Harowi, Ibnu Asakir dan lainnya.
(Sumber: Tahdzib Ath-Tahdzib (3/496-500) dengan perubahan susunan)

Senin, 07 September 2009

Ulama-ulama Syafiiyah:

Berikut ini biografi ulama syafiiyah (sebagian tabaqat [thobaqot] ulama syafiiyah):
1. Al-Imam Asy-Syafii, Muhammad bin Idris (150-204 H)
2. Robi’ bin Sulaiman Al-Murodi, salah satu murid Al-Imam Syafi’i
3. Al-Imam Abu Utsman Ash-Shobuni (- 449 H)
4. Al-Imam Al-Hafizh Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi (631-676 H)
5. Al-Imam Adz-Dzahabi
6. Al-Hafizh Ibnu Katsir
7.  Al-Imam Ibnu Daqiq Al-Ied
8. Al-Imam Al-Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar Al-'Asqalani (773 – 852 H)
9. Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi (849-911 H)
dan lainnya menyusul Insya Alloh.

Ulama-ulama ahlussunnah wal jamaah lainnya:
1. Al-Imam Ahmad bin Hambal (murid Al-Imam Asy-Syafi'i)
2. Al-Imam Al-Bukhori
3. Al-Imam Muslim
4. Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari (260-324 H)
5. Al-Imam Ash Shan’ani, Muhammad bin Ismail bin Shalah Al Amir Al Kahlani (1059-1182 H)
Dan lainnya menyusul Insya Alloh.

FATWA ULAMA SYAFIIYAH


Para ulama adalah pewaris ilmu para nabi. Dimana dengan ilmu itu, mereka membimbing orang-orang kepada jalan yang menghantarkan mereka kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sehingga fatwa-fatwa mereka merupakan bimbingan bagi kaum muslimin. Untuk itu, dalam blog ini, Insya Allah akan dibawakan fatwa-fatwa para ulama, khususnya ulama syafiiyah. Kenapa di sini dibawakan fatwa-fatwa ulama syafiiyah? Karena banyaknya kaum muslimin yang mengaku ikut madzhab syafii, namun mereka tidak tahu bagaimana bimbingan ulama syafiiyah.
Harapannya dengan ini semua, kaum muslimin mengetahui dan bisa mengamalkan Islam yang berdasar kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shohih sesuai dengan bimbingan para ulama ahlussunnah wal jamaah.


Akhirnya semoga Allah memberikan manfaat dan menyimpankan balasannya yang baik di hari kiamat nanti.

Minggu, 06 September 2009

Hak Cipta @ 2009

Boleh menyalin dari blog: FatwaSyafii.wordpress.com atau FatwaSyafiiyah.blogspot.com untuk kepentingan dakwah Islam dengan mencantumkan url sumber untuk setiap artikel.

Posting Pilihan