Berita Rosululloh

Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Umat ini akan berpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu.” Para shohabat bertanya: “Siapakah mereka, wahai Rosululloh?” Beliau menjawab: “Golongan yang berada di atas petunjuk yang dipegang aku dan para shohabatku.”

(HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrok dari Abdullah bin Amr. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Takhrij Al-Kasyaf hal. 64: “Sanadnya hasan.”).

Wasiat Rosululloh

Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Aku tinggalkan di antara kalian dua hal, kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya: Kitabulloh dan Sunnahku, dan keduanya tidak akan berpisah hingga mendatangiku di Al-Haudh (telaga Rosululloh di hari kiamat nanti).”

Hadits Shohih, HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrok dari Abu Huroiroh, dibawakan dalam Jamiush-Shoghir karya Al-Imam As-Suyuthi)

Madzhab Imam Asy-Syafii

Al-Imam Asy-Syafi’i berkata:

“Jika hadits itu shohih, maka itulah madzhabku (pendapatku).”

(Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (1/63) karya Al-Imam An-Nawawi)

Jangan Akuan semata ...

Tidaklah semua orang yang mengaku bermadzhab syafii itu benar mengikuti madzhab Al-Imam Asy-Syafii. Dan tak berguna akuan yang tidak diiringi dengan kenyataan. Sebagaimana kata seorang penyair:

“Setiap orang mengaku punya hubungan dengan Laila Namun Laila tidak membenarkannya.”

Apa Ciri Ahlussunnah?

Ibnu Katsir dalam Tafsirnya (Ar-Rum: 30-32) berkata: “Umat Islam ini berselisih di antara mereka menjadi berbagai aliran, semuanya sesat kecuali satu, yaitu ahlussunnah wal jamaah, yang memegang teguh Kitabullah dan Sunnah Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam, dan memegang petunjuk generasi pertama: para shohabat, para tabiin, serta para imam kaum muslimin pada masa dulu atau belakangan.”

Ini merupakan sebuah pelajaran dari Kisah Nabi Yusuf 'alaihis salam ...
Dulu Nabi Yusuf 'alaihis salam menjadi pengatur (semacam perdana mentri) Kerajaan Mesir. Pada waktu itu Mesir pernah mengalami musim paceklik, kemarau yang panjang, kelaparan ada di mana-mana, bahkan sampai di luar wilayah Mesir. Sebagai seorang pengatur kerajaan beliau mengatur bantuan makanan kepada orang-orang yang membutuhkan.
ADA SATU HAL YANG MENARIK DAN MENAKJUBKAN ...

Ini dikisahkan oleh Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab beliau Qashash Al-Anbiya'. Beliau mengisahkan ...
Ats-Tsa'labi rahimahullah menghikayatkan bahwa Nabi Yusuf 'alaihis salam tidak pernah makan sampai kenyang pada tahun-tahun paceklik, maksudnya agar beliau (bisa merasakan penderitaan mereka dan) tidak lupa dengan orang-orang yang kelaparan. Beliau makan hanya satu kali pada waktu pertengahan siang.
Ats-Tsa'labi rahimahullah juga berkomentar: "Dari situ para raja (jaman dulu) meniru beliau dalam hal itu."

Kemudian Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
Dulu Amirul Mukminin Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu 'anhu tidak pernah kenyang perutnya pada musim kemarau hingga musim itu telah lewat dan telah diganti dengan musim subur.
Imam Asy-Syafii rahimahullah berkata: Seorang arab badui berkata kepada Umar bin Al-Khaththab ketika musim kemarau telah lewat: "Musim kemarau telah pergi darimu dan sungguh engkau orang yang merdeka."

Begitulah yang dipilih oleh Nabi Yusuf ‘alaihis salam dan Khalifah Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, padahal mudah baginya untuk selalu kenyang, karena amanahnya mereka terhadap urusan rakyat khususnya kaum muslimin.
  
Kita semua ada penguasa, orang tua dan suami adalah penguasa atas istri dan anaknya. Apalagi yang penguasa beneran. Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari kisah ini, dan bisa mengamalkannya walaupun belum bisa sepenuhnya seperti para salaf kita yang shalih. Dan bukan sebaliknya ...

Naskah aslinya:
وحكى الثعلبي: أنه كان لا يشبع في تلك السنين، حتى لا ينسى الجيعان، وأنه إنما كان يأكل أكلة واحدة نصف النهار.

قال: فمن ثم اقتدى به الملوك في ذلك.

قلت: و قد كان أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضى الله عنه، لا يشبع بطنه عام الرمادة حتى ذهب الجدب وأتى الخصب.

قال الشافعي: قال رجل من الاعراب لعمر بعد ما ذهب عام الرمادة: لقد انجلت عنك وإنك لابن حرة !

Jumat, 31 Desember 2010 0 komentar

Al-Hafizh Abul Fida’ Ibnu Katsir dalam Tafsir beliau (1/373-374):
Intinya: Allah melarang kaum mukminin dari menyerupai (bertasyabbuh) orang-orang kafir baik dalam ucapan atau perbuatan. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Nabi Muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah.” Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al-Baqarah: 104)

Rabu, 08 Desember 2010 1 komentar

Janganlah seseorang memandang banyaknya orang bodoh yang terjatuh dalam sikap menyerupai orang-orang kafir dan para ulama yang lalai dan mencocoki mereka. Telah berkata As-Sayyid Al-Jalil Al-Fudhail bin Iyadh radhiyallahu ‘anhu: “Wajib atas kalian untuk mengikuti jalan petunjuk meskipun sedikit orang yang menempuhnya, dan jauhilah jalan kesesatan meskipun banyak orang-orang yang binasa.”

Tidak sepantasnya seorang muslim untuk bertasyabuh (menyerupai) orang-orang kafir dalam perkara hari-hari raya mereka itu. Juga tidak boleh menyepakati mereka di atas hal itu.
Allah berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam:

Di antara yang dilakukan banyak manusia pada musim dingin, dan mereka menganggap saat itu dilahirkan Isa ‘alaihis salam. Maka semua yang dilakukan pada malam-malam ini termasuk kemungkaran, seperti: menyalakan api, membuat makanan khusus perayaan, membeli lilin dan lainnya[1] untuk perayaan.

Al-Imam As-Suyuthi rahimahullah dalam Al-Amru Bil Ittiba berkata:
Pasal: bidah hari-hari raya dan perayaan, serta larangan ikut serta dengan ahli kitab (Yahudi dan Kristen) pada hari-hari raya dan perayaan mereka
Termasuk bidah dan kemungkaran sikap menyerupai (tasyabbuh) dengan orang-orang kafir dan mencocoki mereka dalam hari-hari raya dan perayaan-perayaan mereka yang dilaknat (oleh Allah). Sebagaimana dilakukan banyak kaum muslimin yang tidak berilmu tentang ilmu agama, yang ikut serta kaum kristen nashrani dan mencocoki mereka dalam perkara yang mereka lakukan pada hari natal yang merupakan hari raya terbesar orang Kristen, pada hari-hari ulang tahun kelahiran, dan pada musim dingin dengan menyalakan api dan membuat baju-baju berumbai dan mencelupnya dengan warna putih. Mereka ikut-ikutan membuat roti yang dipipih dan bundar, serta membeli dupa atau gaharu dan memolesi anak-anak dan para wanita (sebagai pendekatan diri dan ibadah). Mereka beranggapan bahwa Maryam ‘alaihas salam keluar dari kuburnya melewati kain yang mereka bentangkan sehingga kain-kain itu mendapat barokahnya. Hal itu adalah bathil yang tidak berdasar sama sekali.
Dan ada pula satu golongan yang meletakkan gambar ular besar, kala jengking dan salib di pintu-pintu rumah mereka dengan beranggapan bahwa gambar-gambar tersebut bisa mengusir binatang berbisa dari mereka. Padahal sebenarnya gambar-gambar tersebut akan mengusir malaikat (rahmat) untuk masuk ke rumah itu, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لا تدخل الملائكة بيتاً فيه كلب ولا صورة
“Para malaikat (rahmat) tidak akan masuk satu rumah yang ada anjing dan gambar.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Demikian juga mereka memotong tanduk sapi dan kambing dengan kapur barus untuk mendapat barokah.
Ini semua adalah bathil tidak diragukan keharamannya. Dan pada sebagiannya, keharamannya telah sampai pada dosa besar. Seorang muslim tidak perlu lagi menyelidiki dan mengetahui semua itu, namun cukup baginya mengetahui salah satu dari perbuatan, hari raya mereka, atau satu tempat peribadahan mereka dengan ciri orang-orang kafir mengagungkannya dan hal itu tidak ada dasarnya dalam agama Islam. Kami mengingatkannya karena kami melihat banyak kaum muslimin yang tidak tahu telah terjatuh dalam hal itu.
Di antaranya adalah hari natal yang telah lewat penyebutannya, yang mereka sebut sebagai hari raya yang besar padahal sebaliknya, itulah hari raya kaum Kristen nashrani terbesar. Maka seluruh yang diadakan kaum muslimin di dalam hari itu (dalam rangka mengagungkannya dan memperingatinya), maka itu termasuk kemungkaran.
Termasuk kemungkaran di hari itu, antara lain keluarnya para wanita, kuburan diberi asap pedupaan atau gaharu dan meletakkan pakaian di atap, menulis lembaran-lembaran dan menempelkannya di pintu, menjadikan hari itu sebagai waktu untuk menjual dupa atau gaharu dan menjual lembaran. Sesungguhnya meniupkan asap pedupaan atau gaharu dan menjadikannya sebagai pendekatan diri (ibadah) adalah merupakan agama orang Kristen nashrani dan shabiiyah. Asap pedupaan atau gaharu itu selayaknya hanya digunakan sebagai wewangian sebagaimana yang lainnya. Dimustahabkan asap pedupaan atau gaharu sebagaimana dimustahabkan wewangian lainnya.
Demikian juga dengan pengkhususannya dengan memasak kacang adas atau menanak tepung yang sudah dicampur dengan minyak atau memberi warna pada telur atau membuat roti pipih dan bundar dan sebagainya.
Sedangkan berjudi dengan telur dan menjual telur untuk orang yang berjudi dengannya atau membelinya dari para pejudi, maka sangat jelas kaharamannya.
Demikian juga yang dilakukan para petani, yaitu melepaskan tanduk-tanduk sapi dan kambing atau memangkas pepohonan atau mengumpulan berbagai macam tumbuhan dan mencari berkah dengannya dan mandi dengan air rendamannya.
Demikian juga yang dilakukan para wanita, yaitu mengambil daun zaitun dan mandi dengan air rendamannya atau sengaja mandi (melakukan padusan) pada hari sabtu yang mereka sebut dengan sabtun nur, atau berendam di dalam air. sesungguhnya asal dari hal itu adalah air al-ma’mudiyah (pembaptisan).
Demikian juga dengan meliburkan pekerjaan pokok seperti pabrik-pabrik atau usaha perdagangan, menutup toko, dan menjadikannya sebagai hari istirahat dan hiburan dengan sengaja membedakan dari hari-hari sebelumnya dan sesudahnya. Semua itu termasuk kemungkaran dan bid’ah. Itu merupakan syiar kaum Kristen nashrani pada hari itu. Wajib atas seorang mukmin yang beriman dengan Allah dan Rasul-Nya untuk tidak melakukan perbuatan tersebut pada hari ini sama sekali, tetapi hendaknya memperlakukannya sebagaimana hari-hari biasa.
Naskah Aslinya:
فصل
بدع الأعياد والمواسم والنهي عن مشاركة أهل الكتاب في أعيادهم ومواسمهم
ومن البدع والمنكرات مشابهة الكفار وموافقتهم في أعيادهم ومواسمهم الملعونة، كما يفعل كثير من جهلة المسلمين في مشاركة النصارى وموافقتهم فيما يفعلونه في خميس البيض الذي هو أكبر أعياد النصارى، وفي المواليد وفي الشتاء من إيقاد النار، وصنع قطائف، وصبغ البيض، وخبز أقراص، وشراء بخور، وخضاب الصبيان والنساء ويزعمون أن مريم عليها السلام تخرج من قبرها تمر على تلك الثياب المنشورة، فيصيبها من بركتها. وذلك باطل لا أصل له.
فطائفة يجعلون على أبواب بيوتهم ودورهم صور الحيات والعقارب والصلبان، يزعمون أنها تطرد الهوام عنهم، وإنما تطرد الملائكة؛ إذ صح عن النبي ( أنه قال: " لا تدخل الملائكة بيتاً فيه كلب ولا صورة " .
ويقطعون قرون البقر والغنم والمعز بالنورة لأجل البركة. وكل هذا باطل لا شك في تحريمه. وقد يبلغ التحريم في بعضه إلى أن يكون من الكبائر وليس على المسلم أن يبحث عنها ولا يعرفها، بل يكفيه أن يعرف فعلاً من أفعالهم أو يوماً أو مكاناً بسبب تعظيمه من جهتهم، وأنه لا أصل له في دين الإسلام، ونحن نبينه على ما رأينا كثيراً من الناس الجاهلين قد وقعوا فيه. فمن ذلك خميس البيض، الذي تقدم ذكره، الذي يسمونه الخميس الكبير. وإنما هو الخميس الحقير، وهو عيد النصارى الأكبر، فجميع ما يحدثه المسلم فيه فهو من المنكرات.
ومن المنكرات فيه: خروج النساء إلى ظاهر البلد، وتبخير القبور، ووضع الثياب على السطح، وكتابة الأوراق وإلصاقها بالأبواب، واتخاذه موسماً لبيع البخور، وشراء ورقة، فإن رقي البخور واتخاذها قرباناً هو دين النصارى والصابئين، وإنما البخور طيب يتطيب بدخانه كما يتطيب بسائر الطيب، ويستحب البخور حيث يستحب التطيب. وكذلك اختصاصه بطبخ عدس أو بسيسة أو صبغ بيض، أو خبز أقراص، ونحو ذلك. فأما القمار بالبيض، وبيع البيض لمن قامر به، أو شراؤه من المقامرين، فظاهره التحريم.
ومن ذلك ما يفعله الفلاحون من نكث قرون البقر والماعز والغنم، أو نكث الشجر، أو جمع أنواع من النبات والتبرك بها والاغتسال بمائها.
ومن ذلك ما يفعله النساء من أخذ ورق الزيتون والاغتسال بمائه، أو قصد الاغتسال في الحمام في يوم السبت الذي يسمونه سبت النور، أو الانغماس في ماء، فإن أصل ذلك ماء المعمودية.
ومن ذلك تعطيل الوظائف الرئيسية من الصنائع والتجارات، وغلق الحوانيت، واتخاذه يوم راحة وفرح على وجه يخالف ما قبله وما بعده من الأيام. كل ذلك منكر وبدعة، وهو شعار النصارى فيه. فالواجب على المؤمن بالله ورسوله أن لا يحدث في هذا اليوم شيئاً أصلاً، بل يجعله يوماً كسائر الأيام.

Sabtu, 04 Desember 2010 0 komentar

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
Imam Asy-Syafii, para pengikutnya, Imam Ahmad, Ishaq bin Rahuyah dan ulama lain mengatakan: mustahab untuk melakukan puasa pada tanggal sembilan dan sepuluh muharram semuanya, sebab Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah melakukan puasa pada hari kesepuluh muharram dan berniat untuk berpuasa pada hari kesembilan muharram. Telah lewat di dalam Shahih Muslim dalam Kitab Ash-Shalah dari riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

Jumat, 03 Desember 2010 0 komentar

Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Riyadhush Shalihin hal 358-359 berkata:
Bab Keutamaan Puasa Hari ‘Arafah, ‘Asyura dan Tasu’a
عنْ أَبي قتَادةَ رضِي اللَّه عَنْهُ، قالَ: سئِل رسولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: عَنْ صَوْمِ يوْمِ عَرَفَةَ؟ قال:"يكفِّرُ السَّنَةَ المَاضِيةَ وَالبَاقِيَةَ"رواه مسلمٌ.
Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang puasa Arafah, beliau menjawab: “Menghapus dosa (kecil) setahun yang lewat dan setahun yang berikutnya.” (HR. Muslim)

Imam As-Suyuthi berkata di Kitab beliau Al-Amru Bil Ittiba’ Wan Nahyu ‘An Al-Ibtida’:
“Termasuk perkara muhdatsat (baru/bid’ah dalam perkara agama) yang munkar adalah yang dilakukan sebagian ahlul hawa (syiah rafidhah dan pengikutnya) pada Hari ‘Asyura berupa berpura-pura haus, bersedih, merintih kesakitan dan perkara munkar lainnya yang baru (dengan dianggap merupakan bagian dari agama). Padahal hal-hal ini tidak disyariatkan Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak pula diajarkan seorang pun dari salaf atau ahlul bait atau yang lainnya. Hal ini hanyalah satu musibah pada masa awal Islam saat terbunuhnya Al-Husain bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma.

Sabtu, 27 November 2010 0 komentar

Imam As-Suyuthi berkata di Kitab beliau Al-Amru Bil Ittiba’ Wan Nahyu ‘An Al-Ibtida’:
Mencari-cari tahu perkara yang ghaib
Termasuk bid’ah (perkara yang diada-adakan dalam agama), adalah mencari tahu kejadian-kejadian yang akan datang dari para ahli nujum (astrologi) dan orang-orang yang meramal dengan menggunakan kerikil, gandum dan semisalnya.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

"Sebaik-baik di antara kalian adalah orang yang mempelajari dan mengajarkan Al-Qur'an.”

Ini adalah sifat orang-orang beriman yang ittiba (mengikuti) para rasul. Mereka adalah orang-orang yang sempurna pada diri mereka lagi menyempurnakan orang lain. Hal itu merupakan penyatuan antara kemanfaatan yang terbatas (pada diri sendiri) dan kemanfaatan yang mengenai (orang lain).

Rabu, 13 Oktober 2010 1 komentar

Al-Hafizh Ibnu Katsir menukil dari Ibnu Jarir rahimahullah yang mengkisahkan:

Dahulu Ka'ab Al-Ahbar adalah seorang ulama Yahudi di Negeri Yaman. Dia datang untuk menuju ke Baitul Maqdis (di Syam). Dia melewati kota Madinah pada masa pemerintahan Khalifah 'Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu 'anhu. 'Umar radhiyallahu 'anhu kemudian menemuinya, dan berkata kepadanya: "Wahai Ka'ab, masuklah ke dalam Islam."

Ka'ab menjawab: "Bukankah kalian membaca dalam kitab suci kalian:

مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا

"Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal." (Al-Jumu'ah: 5)

Sedangkan aku membawa Taurat."

'Umar radhiyallahu 'anhu pun meninggalkannya.

Kemudian Ka'ab keluar dari Kota Madinah lalu dia memasuki Kota Hims. Dia mendengar salah satu penduduk Hims dalam keadaan sedih sedang membaca ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ آَمِنُوا بِمَا نَزَّلْنَا مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَطْمِسَ وُجُوهًا فَنَرُدَّهَا عَلَى أَدْبَارِهَا أَوْ نَلْعَنَهُمْ كَمَا لَعَنَّا أَصْحَابَ السَّبْتِ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا

"Wahai ahli kitab, berimanlah kalian kepada apa yang telah Kami turunkan (Al-Qur'an), yang membenarkan Kitab yang ada bersama kalian, sebelum Kami mengubah muka (kalian), lalu Kami putarkan ke belakang atau Kami laknat mereka sebagaimana Kami telah melaknat orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabtu. Dan ketetapan Allah pasti berlaku." (An-Nisa': 47)

Ternyata Ka’ab sangat terpengaruh dengan ayat ini. Dia pun berkata: "Wahai Rabbku, aku masuk ke dalam Islam." Dia takut terkena ayat ini.

Kemudian Ka'ab kembali ke keluarganya di Negeri Yaman. Lalu dia datang bersama mereka dalam keadaan telah masuk Islam.

(Tafsir Ibnu Katsir: Surat An-Nisa' ayat 47)

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata tentang ayat ini (Al-Baqarah: 120), "Dalam ayat ini Allah mengancam keras umat Islam dari mengikuti jalan-jalan Yahudi dan Nashrani, setelah mereka mengetahui dari Al-Qur'an dan As-Sunnah tentang jalan-jalan mereka."


Al-Hafizh Ibnu Katsir menukil dari Ibnu Jarir rahimahullah yang mengkisahkan:

Dahulu Ka'ab Al-Ahbar adalah seorang ulama Yahudi di Negeri Yaman. Dia datang untuk menuju ke Baitul Maqdis (di Syam). Dia melewati kota Madinah pada masa pemerintahan Khalifah 'Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu 'anhu. 'Umar radhiyallahu 'anhu kemudian menemuinya, dan berkata kepadanya: "Wahai Ka'ab, masuklah ke dalam Islam."

Ka'ab menjawab: "Bukankah kalian membaca dalam kitab suci kalian:

مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا

"Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal." (Al-Jumu'ah: 5)

Sedangkan aku membawa Taurat."

'Umar radhiyallahu 'anhu pun meninggalkannya.

Kemudian Ka'ab keluar dari Kota Madinah lalu dia memasuki Kota Hims. Dia mendengar salah satu penduduk Hims dalam keadaan sedih sedang membaca ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ آَمِنُوا بِمَا نَزَّلْنَا مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَطْمِسَ وُجُوهًا فَنَرُدَّهَا عَلَى أَدْبَارِهَا أَوْ نَلْعَنَهُمْ كَمَا لَعَنَّا أَصْحَابَ السَّبْتِ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا

"Wahai ahli kitab, berimanlah kalian kepada apa yang telah Kami turunkan (Al-Qur'an), yang membenarkan Kitab yang ada bersama kalian, sebelum Kami mengubah muka (kalian), lalu Kami putarkan ke belakang atau Kami laknat mereka sebagaimana Kami telah melaknat orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabtu. Dan ketetapan Allah pasti berlaku." (An-Nisa': 47)

Ternyata Ka’ab sangat terpengaruh dengan ayat ini. Dia pun berkata: "Wahai Rabbku, aku masuk ke dalam Islam." Dia takut terkena ayat ini.

Kemudian Ka'ab kembali ke keluarganya di Negeri Yaman. Lalu dia datang bersama mereka dalam keadaan telah masuk Islam.

(Tafsir Ibnu Katsir: Surat An-Nisa' ayat 47)

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata tentang ayat ini (Al-Baqarah: 120), "Dalam ayat ini Allah mengancam keras umat Islam dari mengikuti jalan-jalan Yahudi dan Nashrani, setelah mereka mengetahui dari Al-Qur'an dan As-Sunnah tentang jalan-jalan mereka."


Minggu, 19 September 2010 0 komentar

Syaikhul Islam, pemegang bendera sunnah, pemimpin makhluq, Qadhi Al-Qudhat, Abu Al-Fadhl. Ayahnya adalah salah seorang ahli di bidang fiqh, bahasa Arab, qira'ah, dan sastra, cerdas, terhormat dan disegani. Ia pernah menjabat sebagai qadhi, suka menulis, dan profesional dalam hal mengajar dan berfatwa.
Imam Ibnu Hajar dilahirkan pada tanggal 12 Sya'ban 773 H. di Mesir. Ia tumbuh besar di Mesir setelah ibunya meninggal, lalu ia dipelihara oleh bapaknya dengan penuh penjagaan dan perlindungan yang ketat. Bapaknya tidak pernah membawanya ke maktab (tempat belajar anak-anak) kecuali setelah ia berumur lima tahun.

Sabtu, 22 Mei 2010 2 komentar

Beliau adalah al-Imam Abul Hasan Ali bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari Abdullah bin Qais bin Hadhar. Abu Musa Al-Asy’ari adalah salah seorang sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang masyhur.

Beliau -Abul Hasan Al-Asy'ari- Rahimahullah dilahirkan pada ta­hun 260 H di Bashrah, Irak.

Beliau Rahimahullah dikenal dengan kecerdasannya yang luar biasa dan ketajaman pemahamannya. Demi­kian juga, beliau dikenal dengan qana’ah dan kezuhudannya.

Jumat, 21 Mei 2010 1 komentar

Nasabnya: 
Beliau adalah Al-Imam Al-Hafizh Syaikhul Islam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syarf bin Muriy bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jam'ah bin Hizaam An-Nawawi, dinasabkan dengan Kota Nawa sebuah dusun di daerah Hauran, Suria, dari Damaskus sekitar dua hari perjalanan. Beliau seorang bermadzhab Asy-Syafi'i, Syaikhul Madzhab dan seorang fuqaha besar di zamannya.
Lahir di bulan Muharam tahun 631 Hijriyah di desa Nawa dari dua orang tua yang shaleh. Ketika berumur sepuluh tahun mulai menghafal Al-Qur'an dan bacaan-bacaan fiqih pada para ulama di sana.

Rabu, 19 Mei 2010 0 komentar

Kepribadian Imam Jalaluddin As-Suyuthi dengan berbagai aspeknya, tanpa diragukan lagi adalah kepribadian yang unik yang pantas diteliti dan dipelajari. Beliau banyak memperdalam ilmu-ilmu agama dan bahasa, mengarang buku-buku kesusastraan, juga menaruh perhatian besar terhadap sejarah, politik dan sosial.

Beliau dipandang sebagai salah seorang sastrawan paling terkenal pada abad kelima belas. Dengan penanya, beliau menggeluti segala bidang ilmu. Beliau menulis tentang Al-Qur'an, al-Hadits, Fiqh, Sejarah, bahasa, Balaghah, Kesusastraan dan lain sebagainya.

Selasa, 18 Mei 2010 0 komentar

Sesudah mengetahui perkataan beberapa generasi para ulama syafiiyah tentang wajibnya mengikuti madzhab salaf, maka sekarang kita akan mengetahui apakah landasan mereka dalam mewajibkan kita untuk mengikuti madzhab salaf.
Manhaj salaf merupakan manhaj yang harus diikuti dan dipegang erat-erat oleh setiap muslim di dalam memahami agamanya. Mengapa? Karena demikianlah yang dijelaskan oleh Allah di dalam Al Quran dan demikian pula yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di dalam Sunnahnya. Sedangkan Allah telah berwasiat kepada kita:
“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisa’: 59)

Adapun ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan agar kita benar-benar mengikuti manhaj salaf adalah sebagai berikut:
1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.” (Al Fatihah: 6-7)

Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan berusaha untuk mengikutinya…, maka setiap orang yang lebih mengetahui kebenaran serta lebih konsisten dalam mengikutinya, tentu ia lebih berhak untuk berada di atas jalan yang lurus. Dan tidak diragukan lagi bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, mereka adalah orang-orang yang lebih berhak untuk menyandang sifat (gelar) ini daripada orang-orang Rafidhah.

Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang mereka itu adalah Salafush Shalih, merupakan orang-orang yang lebih berhak menyandang gelar “orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah” dan “orang-orang yang berada di atas jalan yang lurus”, dikarenakan betapa dalamnya pengetahuan mereka tentang kebenaran dan betapa konsistennya mereka dalam mengikutinya.

Gelar ini menunjukkan bahwa manhaj yang mereka tempuh dalam memahami agama Islam ini adalah manhaj yang benar dan di atas jalan yang lurus, sehingga orang-orang yang berusaha mengikuti manhaj dan jejak mereka, berarti telah menempuh manhaj yang benar, dan berada di atas jalan yang lurus pula.

2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’: 115)

Para ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah (di atas): ‘Sesungguhnya yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan generasi pertama dari umat ini, karena mereka merupakan orang-orang yang menyambut syariat ini dengan jiwa yang bersih. Mereka telah menanyakan segala apa yang tidak dipahami (darinya) dengan sebaik-baik pertanyaan, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun telah menjawabnya dengan jawaban terbaik. Beliau terangkan dengan keterangan yang sempurna. Dan mereka pun mendengarkan (jawaban dan keterangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut), memahaminya, mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, menghafalkannya, dan menyampaikannya dengan penuh kejujuran. Mereka benar-benar mempunyai keutamaan yang agung atas kita. Yang mana melalui merekalah hubungan kita bisa tersambungkan dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, juga dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala.’

Dan sungguh keduanya (menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin) adalah saling terkait, maka siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran, pasti ia telah mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Dan siapa saja yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin maka ia telah menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran.

Setelah kita mengetahui bahwa orang-orang mukmin dalam ayat ini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (As Salaf), dan juga keterkaitan yang erat antara menentang Rasul dengan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, maka dapatlah disimpulkan bahwa mau tidak mau kita harus mengikuti “manhaj salaf”, jalannya para sahabat.

Sebab bila kita menempuh selain jalan mereka di dalam memahami agama Islam ini, berarti kita telah menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan akibatnya sungguh mengerikan… akan dibiarkan leluasa bergelimang dalam kesesatan… dan kesudahannya masuk ke dalam neraka Jahannam, seburuk-buruk tempat kembali… na’udzu billahi min dzaalik.

3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, mereka kekal abadi di dalamnya. Itulah kesuksesan yang agung.” (At-Taubah: 100).

Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mengkhususkan ridha dan jaminan surga-Nya untuk para shahabat Muhajirin dan Anshar (As Salaf) semata, akan tetapi orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pun mendapatkan ridha Allah dan jaminan surga seperti mereka.

Al Hafizh Ibnu Katsir Asy-Syafii berkata:
“Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkhabarkan tentang keridhaan-Nya kepada orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, dan ia juga mengkhabarkan tentang ketulusan ridha mereka kepada Allah, serta apa yang telah Ia sediakan untuk mereka dari jannah-jannah (surga-surga) yang penuh dengan kenikmatan, dan kenikmatan yang abadi.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/367).

Ini menunjukkan bahwa mengikuti manhaj salaf akan mengantarkan kepada ridha Allah dan jannah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Adapun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah sebagai berikut:
1. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham…” (HR Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah dan lainnya dari sahabat Al ‘Irbadh bin Sariyah.).

Dalam hadits ini dengan tegas dinyatakan bahwa kita akan menyaksikan perselisihan yang begitu banyak di dalam memahami dienul Islam, dan jalan satu-satunya yang mengantarkan kepada keselamatan ialah dengan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin (Salafush Shalih). Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan agar kita senantiasa berpegang teguh dengannya.

2. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
“Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (HR Al Bukhari dan Muslim, lafadz hadits ini adalah lafadz Muslim dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920).

Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata (tentang tafsir hadits di atas):
“Kalau bukan Ahlul Hadits, maka aku tidak tahu siapa mereka?!” (Syaraf Ashhabil Hadits, karya Al Khatib Al Baghdadi, hal. 36).

Al Imam Ibnul Mubarak, Al Imam Al Bukhari, Al Imam Ahmad bin Sinan Al Muhaddits, semuanya berkata tentang tafsir hadits ini: “Mereka adalah Ahlul Hadits.” (Syaraf Ashhabil Hadits, hal. 26, 37).

Ahlul Hadits adalah nama lain dari orang-orang yang mengikuti manhaj salaf. Atas dasar itulah, siapa saja yang ingin menjadi bagian dari “sekelompok kecil” yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits di atas, maka ia harus mengikuti manhaj salaf.

3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“…. Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan. Beliau ditanya: ‘Siapa dia wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: (golongan) yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku berada.” (Riwayat At Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Iman, Bab Iftiraqu Hadzihil Ummah, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash).

Hadits ini sebagai nash (dalil) bagi apa yang diperselisihkan, karena ia dengan tegas menjelaskan tentang tiga perkara:
1.    Pertama, bahwa umat Islam sepeninggal beliau akan berselisih dan menjadi golongan-golongan yang berbeda pemahaman dan pendapat di dalam memahami agama. Semuanya masuk ke dalam neraka, dikarenakan mereka masih terus berselisih dalam masalah-masalah agama setelah datangnya penjelasan dari Rabb Semesta Alam.
2.    Kedua, kecuali satu golongan yang Allah selamatkan, dikarenakan mereka berpegang teguh dengan Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan mengamalkan keduanya tanpa adanya takwil dan penyimpangan.
3.    Ketiga, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menentukan golongan yang selamat dari sekian banyak golongan itu. Ia hanya satu dan mempunyai sifat yang khusus, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri (dalam hadits tersebut) yang tidak lagi membutuhkan takwil dan tafsir.

Tentunya, golongan yang ditentukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu adalah yang mengikuti manhaj salaf, karena mereka di dalam memahami dienul Islam ini menempuh suatu jalan yang Rasulullah dan para sahabatnya berada di atasnya.

Kesimpulan
Berdasarkan beberapa ayat dan hadits di atas, dapatlah diambil suatu kesimpulan, bahwa manhaj salaf merupakan satu-satunya manhaj yang harus diikuti di dalam memahami agama Islam ini, karena:
1. Manhaj salaf adalah manhaj yang benar dan berada di atas jalan yang lurus.
2. Mengikuti selain manhaj salaf berarti menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang berakibat akan diberi keleluasaan untuk bergelimang di dalam kesesatan dan tempat kembalinya adalah Jahannam.
3. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf dengan sebaik-baiknya, pasti mendapat ridha dari Allah dan tempat kembalinya adalah surga yang penuh dengan kenikmatan, kekal abadi di dalamnya.
4. Manhaj salaf adalah manhaj yang harus dipegang erat-erat, tatkala bermunculan pemahaman-pemahaman dan pendapat-pendapat di dalam memahami dienul Islam, sebagaimana yang diwasiatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
5. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah sekelompok dari umat ini yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan senantiasa mendapatkan pertolongan dan kemenangan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
6. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah golongan yang selamat dikarenakan mereka berada di atas jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
Wallahu a’lam.
***

Selasa, 06 April 2010 5 komentar

Para ulama ahlussunnah wal jamaah, apapun madzhab fiqih yang mereka tempuh dalam jenjang berusaha mempelajari dan memahami ahkam syariat, tetap mengikuti madzhab salaf. Begitu juga dengan para ulama madzhab syafiiyah yang memang berada di atas manhaj ahlussunnah wal jamaah. Beda dengan orang-orang yang mengaku bermadzhab syafii, tetapi mereka beragama dengan berlandaskan ilmu kalam mantiq dan pemahaman tasawwuf sufi. Banyak ucapan para ulama syafiiyah yang mengajak untuk mengikuti madzhab salaf dan mewajibkannya. Demikian ini akan kami bawakan perkataan-perkataan para ulama syafiiyah tentang wajibnya mengikuti madzhab salaf (salafiy).

Perkataan para ulama syafiiyah
1. Al-Imam Abu Ismail Utsman Ash-Shobuni Asy-Syafii rahimahullah (- 449 H) berkata dalam awal risalahnya:
سألني إخواني في الدين أن أجمع لهم فصولا في أصول الدين التي استمسك بها الذين مضوا من أئمة الدين وعلماء المسلمين والسلف الصالحين، وهدوا ودعوا الناس إليها في كل حين، ونهوا عما يضادها وينافيها جملة المؤمنين المصدقين المتقين، ووالوا في اتباعها وعادوا فيها، وبدعوا وكفروا من اعتقد غيرها، وأحرزوا لأنفسهم ولمن دعوهم إليها بركتها وخيرها، وأفضوا إلى ما قدموه من ثواب اعتقادهم لها، واستمساكهم بها، وإرشاد العباد إليها، وحملهم إياهم عليها،
“Aku diminta oleh saudara-saudaraku seagama untuk mengumpulkan bagi mereka fasal-fasal tentang ushuluddin (keyakinan, aqidah, i’tiqod) yang dipegang teguh oleh para imam agama dan ulama kaum muslimin serta para salaf yang shalih, dan mereka memberi petunjuk dan mengajak orang-orang kepadanya dalam semua kesempatan, dan melarang dari yang berlawanan dan bertentangan dengannya, sekumpulan kaum mukminin yang membenarkan dan bertaqwa. Mereka loyal dalam mengikutinya dan memusuhi (orang yang menyelisihinya) dalam masalah itu. Mereka membid’ahkan dan mengkufurkan orang yang meyakini selainnya. Mereka memelihara berkah dan kebaikannya bagi diri mereka sendiri dan orang-orang yang mereka ajak kepada ushuluddin ini. Mereka telah mencapai pahala keyakinan mereka, sikap mereka berpegang teguh dengannya, memeri petunjuk manusia kepadanya dan kesabaran mereka terhadap balasan manusia di atas aqidah itu.”

Kesimpulan:
a.) Para salaf shalih dan para ulama kaum muslimin dulu mengajak manusia kepada aqidah salaf dalam setiap waktu dan melarang dari yang menyelisihinya.
b.) Mereka –para ulama dan salaf shalih- loyal kepada orang yang mengikuti aqidah salaf dan memusuhi orang yang sebaliknya.
c.) Mereka –para ulama dan salaf shalih- membid’ahkan dan mengkufurkan orang yang meyakini selain aqidah salaf.
d.) Dulu, kaum muslimin sangat perhatian dengan aqidah salaf, sehingga mereka bertanya kepada Imam Abu Utsman Ash-Shabuni tentang aqidah salaf untuk mereka pegang.

2. Al-Imam Al-Mawardi Asy-Syafii rahimahullah (-450 H) di dalam Al-Hawi Fi Fiqhi Asy-Syafii (2/523): Beliau membawakan pendapat Imam Asy-Syafii tentang doa istisqa’ (minta hujan) yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian Imam Asy-Syafii berkata:
وَأُحِبُّ أَنْ يَفْعَلَ هَذَا كُلَّهُ وَلَا وَقْتَ فِي الدُّعَاءِ لَا يُجَاوِزَ .
“Aku suka hendaknya dia melakukan semua ini dan tidak ada waktu dalam doa yang dia tidak boleh melampauinya.”
Kemudian Al-Imam Al-Mawardi memberikan komentar:
وَهَذَا كَمَا قَالَ : وَذَلِكَ هُوَ الْمُخْتَارُ ؛ لِأَنَّهُ مَرْوِيٌّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْقُولٌ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ .
“Dan ini seperti yang beliau katakan. Itulah pendapat yang dipilih, karena itu yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan dinukilkan dari salaf shalih radhiyallahu ‘anhum.

Kesimpulan:
a.) Dalam berpendapat, Imam Syafii berijtihad dengan dalil yang sampai kepada beliau dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak berbicara dalam masalah agama tanpa dalil yang dijadikan landasan pendapat.
b.) Pendapat yang ada dalilnya dan mencocoki pendapat salaf itulah yang dipilih. Di sini ada isyarat bahwa pendapat salaf itulah yang diikuti dan dijadikan rujukan.

3. Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah (384-458 H) dalam menetapkan sifat Allah bahwa dia mengatakan:
"لا يجوز وصفه - سبحانه - إلاّ بما دل عليه كتاب الله تعالى أو سنة رسوله صلى الله عليه وسلم ، أو أجمع عليه سلف هذه الأمة"
“Tidak boleh mensifati Allah subhanahu wa ta’ala kecuali dengan yang ditunjukkan oleh Kitabullah atau sunnah rasul-Nya atau ijma’ salaf ummat ini.”
Kesimpulan:
a.) Dalam masalah asma wa sifat Allah, kita juga berhujjah dengan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ salaf. Karena madzhab salaf itulah yang seharusnya diikuti.
b.) Beriman dengan Asma’ wa sifat Allah termasuk beriman dari rukun iman pertama, yaitu iman kepada Allah.
c.) Salaf adalah panutan dalam beragama.
d.) Imam Al-Baihaqi tidak membolehkan seseorang untuk beraqidah selain yang dipegangi salaf.

3. Perkataan Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah (384-458 H) sebagaimana dinukil Imam An-Nawawi dalam Khulashoh Al-Ahkam (1/462-463):
وَرَوَى الْبَيْهَقِيّ بِإِسْنَادِهِ ، عَن ابْن الْمُبَارك أَنه سُئل عَن مسح الْوَجْه إِذا دَعَا الْإِنْسَان ؟ قَالَ : " لم أجد لَهُ ثبتاً ، وَلم يكن يرفع يَدَيْهِ " . قَالَ الْبَيْهَقِيّ : " لست أحفظ فِي مسح الْوَجْه هُنَا عَن أحد من السّلف شَيْئا . قَالَ : وَاخْتلفُوا فِي ذَلِك فِي الدُّعَاء خَارج الصَّلَاة ، قَالَ : فَأَما فِي الصَّلَاة فَهُوَ عمل لم يثبت فِيهِ خبر ، وَلَا أثر ، وَلَا قِيَاس فَلَا يُفعل ، ويقتصر عَلَى مَا فعله السّلف من رفع الْيَدَيْنِ دون الْمسْح " هَذَا كَلَام الْبَيْهَقِيّ .
وَأما حَدِيث عمر رَضِيَ اللَّهُ عَنْه : " أَن النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كَانَ إِذا رفع يَدَيْهِ فِي الدُّعَاء لم يحطهما حَتَّى يمسح بهما وَجهه " فَرَوَاهُ التِّرْمِذِيّ . وَقَالَ : " حَدِيث غَرِيب ، انْفَرد بِهِ حَمَّاد بن عِيسَى ، وَحَمَّاد هَذَا ضَعِيف " فَهُوَ حَدِيث ضَعِيف .
[Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnul Mubarok, bahwa dia ditanya tentang mengusap wajah ketika seseorang berdoa. Maka dia menjawab: “Aku tidak mendapati hal itu tsabit, dan hendaknya dia tidak mengangkat kedua tangannya.” Al-Baihaqi berkata: “Aku tidak menghapal sesuatupun di sini dari salah seorang salaf tentang mengusap wajah... Para ulama telah berbeda pendapat tentang hal itu dalam doa di luar sholat ... Adapun di sholat, maka itu adalah amalan yang tidak tsabit sebuah hadits tentangnya, tidak pula sebuah atsar (riwayat shohabat dan setelahnya) dan tidak pula qiyas, maka tidak bisa dilakukan. Dan hendaknya mencukupkan diri sebagaimana yang dilakukan oleh salaf berupa mengangkat kedua tangan tanpa mengusap wajah.” Demikian ucapan Al-Baihaqi.
Al-Imam An-Nawawi melanjutkan: Adapun hadits Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dulu jika mengangkat kedua tangannya dalam dia, beliau tidak menaruhnya sampai beliau mengusap wajahnya dengan keduanya. Maka ini diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, dia berkata: “Hadits ghorib, Hammad bin Isa meriwayatkan sendirian dan dia dho’if.” Maka hadits ini dho’if.]

Kesimpulan:
a.) Mengikuti madzhab salaf dalam masalah ibadah, seperti ibadah sholat.
b.) Tidak berpendapat dengan sesuatu amalan yang tidak ada dalilnya, baik dari al-qur’an atau hadits dan ijma’ salaf.
c.) hadits tentang mengusap wajah setelah berdoa dengan kedua tangan adalah dho’if. Sehingga hal itu tidak diamalkan.
d.) Imam Al-Baihaqi dan Imam An-Nawawi ketika berpendapat berusaha mengikuti dalil dan madzhab salaf. Bagaimana dengan kaum muslimin sekarang yang mengaku bermadzhab syafii? Banyak orang yang tidak mengenal madzahab salaf yang sesungguhnya bahkan malah mencela madzhab salaf. Mereka menggolongkan para teroris sebagai seorang salaf. Ini adalah sebuah kejahatan kepada para salaf.

4. Imam Al-Haramain Abul Ma’ali rahimahullah (419-478 H) sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (13/349-350):
"ركبت البحر الأعظم، وغصت في كل شيء نهى عنه أهل العلم في طلب الحق فرارا من التقليد والآن فقد رجعت واعتقدت مذهب السلف "
“Aku telah mengarungi samudra yang terbesar, dan aku telah menyelami segala sesuatu yang dilarang oleh para ulama, untuk mencari kebenaran, lari dari taqlid. Sekarang aku telah kembali dan meyakini madzhab salaf.”
Kesimpulan:
- Tempat kembali dalam memahami agama yang benar adalah dengan mengikuti madzhab salaf.

5. Imam An-Nawawi rahimahullah (631-676 H) dalam Muqaddimah Al-Majmu 1/27 ketika menceritakan tentang Kitab beliau Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab mengatakan:
وَاعْلَمْ أَنَّ مَعْرِفَةَ مَذَاهِبِ السَّلَفِ بِأَدِلَّتِهَا مِنْ أَهَمِّ مَا يُحْتَاجُ إلَيْهِ ..... وَبِذِكْرِ مَذَاهِبِهِمْ بِأَدِلَّتِهَا يَعْرِفُ الْمُتَمَكِّنُ الْمَذَاهِبَ عَلَى وَجْهِهَا، وَالرَّاجِحَ مِنْ الْمَرْجُوحِ، وَيَتَّضِحُ لَهُ، وَلِغَيْرِهِ الْمُشْكِلَاتُ، وَتَظْهَرُ الْفَوَائِدُ النَّفِيسَاتُ، وَيَتَدَرَّبُ النَّاظِرُ فِيهَا بِالسُّؤَالِ، وَالْجَوَابِ، وَيَتَفَتَّحُ ذِهْنُهُ، وَيَتَمَيَّزُ عِنْدَ ذَوِي الْبَصَائِرِ، وَالْأَلْبَابِ، وَيَعْرِفُ الْأَحَادِيثَ الصَّحِيحَةَ مِنْ الضَّعِيفَةِ، وَالدَّلَائِلَ الرَّاجِحَةَ مِنْ الْمَرْجُوحَةِ، ...
Ketahuilah bahwa mengenal madzhab-madzhab salaf dengan dalil-dalilnya termasuk perkara yang dibutuhkan ... dan dengan menyebutkan madzhab-madzhab mereka dengan dalil-dalilnya, orang yang mapan akan mengetahui madzhab-madzhab itu sesuai dengan kedudukannya yang sesuai, mengetahui pendapat yang rojih (kuat) dari yang lemah, perkara-perkara yang rumit akan menjadi jelas bagi dia dan orang lain, akan nampak faedah-faedah berharga, dan orang yang memperhatikannya akan terlatih dengan soal jawab, akalnya akan terbuka, dan dia akan mempunyai keistimewaan di sisi orang-orang yang berakal. Dia juga akan mengetahui hadits-hadits yang shohih dari hadits yang dho’if, mengetahui dalil yang kuat dari yang lemah. ...”

6. Al-Imam Adz-Dzahaby rahimahullah (673 – 748 H) berkata dalam kitab beliau Siyar A’lam An-Nubala (13/380):
الامانة جزء من الدين، والضبط داخل في الحذق، فالذي يحتاج إليه الحافظ أن يكون تقيا ذكيا، نحويا لغويا، زكيا حييا، سلفيا، يكفيه أن يكتب بيده مئتي مجلد، ويحصل من الدواوين المعتبرة خمس مئة مجلد، وأن لا يفتر من طلب العلم إلى الممات، بنية خالصة وتواضع، وإلا فلا يتعن.
"Amanah merupakan bagian dari agama dan hafalan bisa masuk kepada kecerdikan. Adapun yang dibutuhkan oleh seorang hafizh adalah: Dia harus seorang yang bertaqwa, pintar, ahli nahwu dan bahasa, bersih hatinya, senantiasa bersemangat, seorang salafy (orang yang mengikuti madzhab salaf), cukup bagi dia menulis dengan tangannya sendiri 200 jilid buku hadits dan memiliki 500 jilid buku yang dijadikan pegangan dan tidak putus semangat dalam menuntut ilmu sampai dia meninggal dengan niat yang ikhlas dan dengan sikap rendah diri. Kalau tidak memenuhi syarat-syarat ini maka janganlah kamu berharap”.
Beliau menyebautkan bahwa diantara syarat untuk menjadi seorang al-hafidz, adalah dia seorang salafi, seorang yang mengikuti madzhab salaf.

7. Ibnu Hajar Al-'Asqolani Asy-Syafii rahimahullah (773-852 H) berkata dalam Fathul Bari:
ومما حدث أيضاً تدوين القول في أصول الديانات فتصدى لها المثبتة والنفاة، فبالغ الأول حتى شبه، وبالغ الثاني حتى عطل، واشتد إنكار السلف لذلك كأبي حنيفة، وأبي يوسف، والشافعي. وكلامهم في ذم أهل الكلام مشهور. وسببه أنهم تكلموا فيما سكت عنه النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه.
وثبت عن مالك أنه لم يكن في عهد النبي صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر شيء من الأهواء يعني بدع الخوارج، والروافض، والقدرية.
وقد توسع من تأخر عن القرون الثلاثة الفاضلة في غالب الأمور التي أنكرها أئمة التابعين وأتباعهم.ولم يقتنعوا بذلك حتى مزجوا مسائل الديانة بكلام اليونان، وجعلوا كلام الفلاسفة أصلاً يردون إليه ما خالفه من الآثار بالتأويل ولو مستكرهاً.
ثم لم يكتفوا بذلك حتى زعموا أن الذي تربوه هو أشرف العلوم وأولاها بالتحصيل، وأن من لم يستعمل ما أصطلحوا عليه فهو عامي جاهل، فالسعيد من تمسك بما كان عليه السلف، واجتنب ما أحدث الخلف "
“Dan termasuk yang terjadi juga adalah penyusunan buku tentang pendapat dalam masalah akidah, sampai kelompok yang menetapkan sifat Datang dan kelompok yang meniadakannya memasukinya. Yang pertama berlebihan sampai melakukan tasybih, yang kedua berlebihan sampai menolak sama sekali. Dan sangat keras pengingkaran salaf terhadap hal itu, seperti Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Asy-Syafii. Ucapan mereka dalam mencela ahlul kalam sangatlah terkenal. Sebabnya karena orang-orang itu berbicara tentang perkara yang didiamkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shohabatnya. Dan telah datang dari Imam Malik bahwa tidak ada pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, Umar sedikitpun dari al-hawa (bid’ah), yakni bid’ah-bid’ah khowaroj, syiah rofidhoh dan qodariyah.
Orang-orang yang datang setelah tiga generasi (awal) yang utama dalam keumuman perkara yang diingkari oleh para imam tabiin dan tabiut tabiin. Orang-orang itu tidak merasa cukup dengan hal itu sampai mencapurkan antara permasalahan-permasalahan agama dengan ucapan-ucapan yunan, dan menjadikan perkataan ahli filsafat sebagai dasar kembalinya atsar-atsar yang menyelisihinya dengan cara mentakwilnya, meskipun dengan enggan.
Kemudian orang-orang itu tidak merasa cukup dengan itu saja, sampai mereka meyakini bahwa yang mereka ajarkan adalah ilmu yang paling utama dan paling mulia untuk dipelajari dan menyangka bahwa orang yang tidak memakai istilah-istilah mereka adalah orang yang awam lagi bodoh.
Maka orang yang berbahagia adalah orang yang berpegang teguh dengan yang dipegang oleh salaf sholih dan menjauhi perkara yang diada-adakan kholaf (orang-orang belakangan).”

Cukuplah ucapan beliau sebagai pelajaran bagi orang yang menginginkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

8. Imam As-Suyuthi rahimahullah (849-911) dalam Al-Amru Bil Ittiba’ Wan Nahyu ‘An Al-Ibtida’ hal 8:
فكيف لو رأوا ما أحدثوا في هذا الزمان فيه من الزيادات القبيحة. فاحذره يا أخي، واقتد بالسلف الصالح.
“Maka bagaimana kalau mereka melihat terhadap apa yang diada-adakan oleh orang-orang pada masa ini, yang padanya ada tambahan-tambahan yang jelek. Maka berhati-hatilah saudaraku, dan teladanilah salaf sholih.”
Wallahu a'lam.
***

Minggu, 04 April 2010 0 komentar

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Al-Bidayah Wan Nihayah (10/360) berkata:

ملخص الفتنة والمحنة من كلام أئمة السنة قد ذكرنا فيما تقدم أن المأمون كان قد استحوذ عليه جماعة من المعتزلة فأزاغوه عن طريق الحق إلى الباطل، وزينوا له القول بخلق القرآن ونفي الصفات عن الله عزوجل.


قال البيهقي: ولم يكن في الخلفاء قبله من بني أمية وبني العباس خليفة إلا على مذهب السلف ومنهاجهم، فلما ولي هو الخلافة اجتمع به هؤلاء فحملوه على ذلك وزينوا له،

“Kesimpulan fitnah dan ujian dari para imam as-sunnah telah kami sebutkan pada yang telah lalu bahwa Khalifah Al-Makmun telah dikuasai oleh sekumpulan mu’tazilah dan mereka menyimpangkannya dari jalan yang benar kepada yang bathil. Mereka menghiasi pendapat ‘Al-Qur’an Makhluk’ baginya dan pendapat untuk menolak sifat-sifat dari Allah ‘azza wa jalla.


Imam Al-Baihaqi rahimahullah berkata:Tidaklah satu khalifah pun dari para kholifah sebelum Al-Makmun baik dari Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah melainkan berada di atas madzhab salaf dan manhaj mereka. Ketika Al-Makmun diangkat jadi khalifah, orang-orang mu’tazilah berkumpul dengannya dan menyeretnya kepada perkataan itu dan menghiasinya untuk dia’.”


Cukuplah ini untuk menyadarkan orang-orang yang ingin memperburuk salafi atau madzhab salaf. yang menyatakan bahwa madzhab salaf adalah tidak ada dan madzhab yang bid'ah Mereka ini tidaklah berbicara dengan ilmu dan kesadaran, akan tetapi mereka berbicara dengan emosi dan kebodohan. Mereka juga berkata karena ta’assub atau fanatik kepada kelompoknya, tidak fanatik kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.

Sabtu, 09 Januari 2010

Mungkin sudah sangat sering kita mendengar kata salaf atau salafiyah atau manhaj salaf atau madzhab salaf. Kalau kita memperhatikan betapa banyak pendapat orang tentang salaf.

Ada yang mengatakan bahwa salaf adalah madzhab baru dalam agama (bid’ah) dan harom mengikutinya. Ini adalah pendapat yang salah.

Ada yang mengatakan bahwa salaf hanyalah generasi yang telah lewat dan tak ada kaitannya dengan cara memahami agama yang benar. Ini juga salah.

Ada yang mengatakan bahwa salaf adalah orang-orang ekstrim teroris khowarij yang suka membuat keonaran, pengrusakan, mengacaukan keamanan dan membunuh kaum muslimin dan orang kafir yang secara syariat tidak boleh dibunuh. Ini juga salah.

Ada lagi yang mengatakan bahwa salafiyah adalah taqlid kepada para tokoh pendahulu mereka, tanpa mengembalikan pemahaman agama kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shohihah dengan pemahaman yang benar. Ini juga salah. Ini semua adalah ucapan yang tidak didasari dengan ilmu, tapi hanya dugaan. Ini dilarang oleh Allah.

Lalu apa salaf itu? Siapakah salaf itu? Apakah memang ada madzhab salaf itu? Untuk itu kita akan menyimak beberapa perkataan tokoh syafiiyah dalam menjelaskan siapakah salaf itu.

Namun sebelumnya perlu diketahui bahwa salaf asalnya artinya adalah ‘pendahulu’, kemudian ada pengertian salaf sebagai satu istilah khusus.

I. Pengertian Salaf
Kata salaf ini awalnya dipakai untuk menyebutkan generasi awal ummat Islam, yaitu para shohabat, para tabiin, dan para tabiut tabi’in.
1. Imam Asy-Syafii rahimahullah (-204 H) dalam wasiat beliau berkata:
وأعرف حق السلف الذين اختارهم الله تعالى لصحبة نبيه صلى الله عليه وسلم، والأخذ بفضائلهم، وامسك عما شجر بينهم صغيره وكبيره
“Dan aku mengakui hak salaf yang telah dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, dan memegang dengan keutamaan-keutamaan mereka, dan aku menahan diri dari perkara yang mereka percekcokan baik yang kecil atau besar.”

Ini perkataan dan bimbingan Imam Asy-Syafii, untuk tidak membicarakan percekcokan yang terjadi di antara salaf, yaitu para shohabat. Beliau menyatakan bahwa generasi shohabat adalah termasuk salaf.

2. Imam Abul Hasan Al-Asy'ari rahimahullah (-324 H) dalam Kitab Al-Ibanah Min Ushul Ahlid Diyanah hal. 21 berkata:
وندين بحب السلف الذين اختارهم الله تعالى لصحبة نبيه صلى الله عليه وسلم، ونثني عليهم بما أثنى الله به عليهم، ونتولاهم أجمعين .
Dan (diantara yang) kami yakini sebagai agama adalah mencintai para ‘ulama salaf yang mereka itu telah dipilih oleh Allah ‘Azza Wa Jalla untuk bershahabat dengan Nabi-Nya dan kami memuji mereka sebagaimana Allah memuji mereka dan kami memberikan loyalitas kepada mereka seluruhnya”.
Disini Imam Abul Hasan Al-Asy’ari menyebut sahabat dengan salaf.

3. Dan berkata Al-Ghazaly rahimahullah memberikan pengertian terhadap kata As-Salaf dalam Iljamul 'Awwam ‘An ‘ilmil Kalam hal. 62: Yang saya maksudkan dengan salaf adalah madzhabnya para shahabat dan tabi'in”.
Disini ada pelajaran bahwa salaf itu tidak lah hanya generasi, tetapi juga merupakan madzhab dalam memahami agama yang ada sebelum madzhab yang lainnya.

4. Perkataan Imam Ash-Shon’ani rahimahullah dalam Subulus Salam (3/177):
والمسألة اختلف فيها السلف من الصحابة والتابعين والخلف من الأئمة المجتهدين
“Permasalahan ini diperselisihkan oleh salaf dari para shohabat dan tabiin, serta oleh kholaf dari para imam ahli ijtihad.”

5. Imam Al-Baihaqi rahimahullah dalam Syu'abul Iman (2/251) tatkala menyebutkan pembagian ilmu, beliau menyebutkan diantaranya:
وَمَعْرِفَةُ أَقَاوِيلِ السَّلَفِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَمَنْ دُونَهُمْ،
“Dan mengenal perkataan-perkataan para salaf dari kalangan shahabat, tabi'in dan orang-orang setelah mereka”.

Disini beliau menyebutkan bahwa salaf itu terdiri dari generasi shohabat dan tabiin dan orang-orang setelahnya. Kenapa orang yang setelah mereka dimasukkan ke dalam salaf juga, karena orang-orang itu mengikuti madzhab salaf sebelumnya.
Jadi salaf merupakan istilah untuk para shohabat, para tabiin dan orang-orang yang mengikuti mereka.

6. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’ (1/127):
وَاحْتَجَّ الشَّافِعِيُّ - رحمه الله - بِمَا رَوَى عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما أَنَّهُ كَرِهَ أَنْ يَدَّهِنَ فِي عَظْمِ فِيلٍ لِأَنَّهُ مَيْتَةٌ، وَالسَّلَفُ يُطْلِقُونَ الْكَرَاهَةَ وَيُرِيدُونَ بِهَا التَّحْرِيمَ،
“Imam Asy-Syafii rahimahullah berhujjah dengan yang diriwayatkan oleh Amr bin Dinar dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau memakruhkan memakai minyak pada tulang gajah, karena itu bangkai. Dan ulama salaf mengistilahkan dengan makruh (karohah) dan mereka menginginkan dengannya pengharoman.”

Dari ucapan beliau dapat disimpulkan:
a.) Bahwa shohabat adalah salaf.
b.) makruh menurut salaf tidaklah hanya makruh semata atau disebut makruh tanzih (yang tidak berdosa bila dilakukan), tetapi juga ada makruh tahrim, yaitu makruh yang menunjukkan pengharaman (berdosa bila dilakukan). Jadi makruh ada dua: 1. makruh tanzih dan 2. makruh tahrim.
c.) Imam Asy-Syafii sebagai salah satu imam ahli ijtihad tetap berhujjah dengan perkataan salaf dan berijtihad dengan dalil yang sampai kepada beliau dari para salaf.

7. Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam Tafsirnya:
وأما قوله تعالى: { ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ } فللناس في هذا المقام مقالات كثيرة جدا، ليس هذا موضع بسطها، وإنما يُسلك في هذا المقام مذهبُ السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري، والليث بن سعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما وحديثا، وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تعطيل..
“Sedangkan firman Allah ta’ala: ‘Kemudian Dia istiwa’ di atas ‘Arsy’, maka orang-orang dalam masalah ini mempunyai pendapat yang sangat banyak. Dan ini bukanlah tempat untuk menjabarkannya. Hanya saja dalam masalah ini yang ditempuh adalah madzhabnya As-Salaf Ash-Sholih, yaitu Imam Malik, Al-Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Laits bin Sa’ad, Asy-Syafii, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rohuyah dan imam-imam muslimin lainnya baik dulu atau sekarang, yaitu membiarkannya sebagaimana datangnya tanpa takyif, tasybih dan ta’thil.”

Dari ucapan Al-Hafizh Ibnu Katsir terkandung pelajaran:
a. bahwa para ulama yang disebutkan adalah termasuk salaf, dan para ulama itu di atas madzhab salaf, serta salah satu Salaf adalah Imam Asy-Syafii.
b. Para imam ini disebut sebagai salaf, padahal mereka bukan termasuk shohabat, atau tabiin atau tabiut tabiin, karena mereka ini mengikuti madzhabnya shohabat, tabiin dan tabiut tabiin.
c. Kalau kita mengikuti ulama salaf, padahal ulama salaf itu banyak dan kadang beda pedanpatnya, lalu mana yang kita ikuti pendapatnya dalam masalah ijtihadiyah? Yang kita ikuti adalah yang sesuai dengan dalil, dan tidak ta’ashub (fanatik) kepada salah seorang.
d. Para imam itu sendiri tidak mengajak untuk taklid kepada diri mereka sendiri, tetapi mengajak kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Sebagaimana Imam Asy-Syafii sebagai murid Imam Malik dalam perkara ijtihadiyah tidak sama semua pendapatnya dengan Imam Malik tetapi mengikuti dalil yang kuat menurut beliau. Demikian juga Imam Ahmad terhadap Imam Asy-Syafii, dan begitu juga yang lainnya. Karena seseorang selain Rosululloh itu bisa benar dan bisa salah ijtihadnya. Bila benar mendapat dua pahala, bila salah mendapat satu pahala.

8. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari (13/253) berkata:
ومما حدث أيضاً تدوين القول في أصول الديانات فتصدى لها المثبتة والنفاة، فبالغ الأول حتى شبه، وبالغ الثاني حتى عطل، واشتد إنكار السلف لذلك كأبي حنيفة، وأبي يوسف، والشافعي. وكلامهم في ذم أهل الكلام مشهور.
“Dan termasuk yang terjadi adalah penulisan pendapat dalam masalah pokok-pokok agama, golongan mutsbit (yang menetapkan nama dan sifat Allah) dan nufat (menolak nama dan sifat Allah) menentangnya. Yang pertama berlebihan sampai mentasybih (menyerupakan Allah dengan makhluq) dan yang kedua berlebihan hingga menolak (nama dan sifat Allah). Dan sangat keras pengingkaran salaf terhadap hal itu, seperti Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Asy-Syafii. Dan perkataan mereka dalam mencela ahlul kalam sangat masyhur.”
Beliau menyatakan bahwa di antara salaf itu antara lain: Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Imam Asy-Syafii.

9. Imam As-Suyuthi dalam Kitab Al-Amru Bil Ittiba Wan Nahyu ‘anil Ibtida’ hal. 2, setelah membawakan judul ما جاء عن السلف في الأمر بالاتباع (apa yang datang dari salaf dalam perintah untuk ittiba’ (mengikuti dalil)), beliau kemudian menyebutkan atsar para salaf, diantaranya adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu ‘Abbas yang merupakan shohabat; dan juga Al-Auza’i yang merupakan salah seorang tabiut-tabi’in, dan Sufyan Ats-Tsauri dan Imam Syafii yang hidup setelah mereka. Imam Suyuthi menyebutkan bahwa mereka itu salaf.

Jadi kesimpulannya:
• Salaf adalah para shohabat, para tabiiin, dan tabiut tabiin serta orang-orang yang mengikuti (ittiba’) manhaj mereka dengan baik. Yaitu mengikuti mereka dengan ittiba’, ittiba’ adalah menerima dan mengikuti satu pendapat dengan dalil. Ittiba’ ini beda dengan taqlid, sebab taqlid adalah mengikuti satu pendapat tanpa memperhatikan dalil.
• Nama-nama yang disebutkan Imam As-Suyuthi adalah salaf, termasuk Al-Auza’i dan Sufyan Ats-Tsauri.
• Juga Imam Syafii adalah orang yang mengikuti manhaj salaf.
• Mungkin ada orang yang bertanya, bila mereka semua salaf, kemudian seorang disebut salaf adalah bila mengikuti mereka, padahal di antara mereka ada yang berbeda pendapat dalam perkara ijtihadiyyah, lalu mana yang diikuti? Karena makna ittiba’ adalah mengikuti dengan dalil, maka yang diikuti adalah pendapat yang sesuai dengan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, tidak hanya taqlid pada salah seorang di antara salaf.

II. Pengertian salafi atau salafiyah
Salafiyah adalah pensifatan yang diambil dari kata سَلَفٌ (salaf) yang berarti mengikuti jejak, manhaj dan jalan salaf. Dikenal juga dengan nama سَلَفِيُّوْنَ (Salafiyyun). Yaitu bentuk jamak dari kata Salafy yang berarti orang yang mengikuti Salaf. Dan juga kadang kita dengar penyebutan para 'ulama Salaf dengan nama As-Salaf Ash-Sholih (pendahulu yang sholeh).

1. Al-Imam Adz Dzahabi Asy-Syafii rahimahullah dalam Siyar A’lamin Nubala 21/6 berkata:
السَلَفِي - بفتحتين - وهو من كان على مذهب السلف.
“As Salafi dengan memfathah (sini dan lamnya) adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas madzhab salaf.”

2. Al-Imam As-Suyuthy dalam Lubbul Lubab jilid 2 hal.22 :
السلفي: بفتحتين وفاء إلى مذهب السلف
"Salafy dengan memfathah (huruf sin dan lam-nya) adalah penyandaran diri kepada madzhab As-Salaf.”

III. Asal Penamaan Salaf Dan Penisbahan Diri Kepada Madzhab Salaf
Asal penamaan Salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada putrinya Fathimah radihyallahu ‘anha:
فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ
“Karena sesungguhnya sebaik-baik salaf bagi kamu adalah saya". Dikeluarkan oleh Bukhary no.5928 dan Muslim no.2450.

Banyak sekali para ulama ketika menyebutkan pendapat-pendapat, mereka membawakan pendapat salaf. Ini sangat banyak sekali bagi yang membaca kitab-kitab para ulama. Namun inilah secuplik perkataan, cukup bagi pelajaran bagi orang-orang yang berakal bahwa madzhab salaf itu ada bukan hanya sekedar generasi semata. Wallahu a'lam.


***

Hak Cipta @ 2009

Boleh menyalin dari blog: FatwaSyafii.wordpress.com atau FatwaSyafiiyah.blogspot.com untuk kepentingan dakwah Islam dengan mencantumkan url sumber untuk setiap artikel.

Posting Pilihan