Berita Rosululloh

Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Umat ini akan berpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu.” Para shohabat bertanya: “Siapakah mereka, wahai Rosululloh?” Beliau menjawab: “Golongan yang berada di atas petunjuk yang dipegang aku dan para shohabatku.”

(HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrok dari Abdullah bin Amr. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Takhrij Al-Kasyaf hal. 64: “Sanadnya hasan.”).

Wasiat Rosululloh

Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Aku tinggalkan di antara kalian dua hal, kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya: Kitabulloh dan Sunnahku, dan keduanya tidak akan berpisah hingga mendatangiku di Al-Haudh (telaga Rosululloh di hari kiamat nanti).”

Hadits Shohih, HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrok dari Abu Huroiroh, dibawakan dalam Jamiush-Shoghir karya Al-Imam As-Suyuthi)

Madzhab Imam Asy-Syafii

Al-Imam Asy-Syafi’i berkata:

“Jika hadits itu shohih, maka itulah madzhabku (pendapatku).”

(Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (1/63) karya Al-Imam An-Nawawi)

Jangan Akuan semata ...

Tidaklah semua orang yang mengaku bermadzhab syafii itu benar mengikuti madzhab Al-Imam Asy-Syafii. Dan tak berguna akuan yang tidak diiringi dengan kenyataan. Sebagaimana kata seorang penyair:

“Setiap orang mengaku punya hubungan dengan Laila Namun Laila tidak membenarkannya.”

Apa Ciri Ahlussunnah?

Ibnu Katsir dalam Tafsirnya (Ar-Rum: 30-32) berkata: “Umat Islam ini berselisih di antara mereka menjadi berbagai aliran, semuanya sesat kecuali satu, yaitu ahlussunnah wal jamaah, yang memegang teguh Kitabullah dan Sunnah Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam, dan memegang petunjuk generasi pertama: para shohabat, para tabiin, serta para imam kaum muslimin pada masa dulu atau belakangan.”

Pada artikel yang lalu telah disebutkan bahwa aliran sufi itu dimulai dari sikap berlebihan dalam meninggalkan kehidupan dunia, kemudian membuka pintu bid’ah gagasan bahwa ketuhanan bersemayam dalam makhluk (al-hulul), sampai gagasan bahwa semua makhluk adalah satu hakikat, yang merupakan Alloh (wihdatul wujud). Dari  percampuran semua pemikiran ini lahir aliran sufi, yang muncul dalam Islam. Aliran ini kemudian semakin jauh dari petunjuk Al-Qur’an Al-Karim dan Sunnah yang murni. Sampai para pengikut aliran sufi menyebut semua yang mengikuti Al-Qur’an dan  Sunnah sebagai  ‘ahli syari'at’ dan ‘ahli tekstual’ (ahlul-dhaahir), sedangkan mereka menyebut  diri mereka  sebagai ‘ahli hakikat’ dan ‘orang yang punya pengetahuan tersembunyi’ (ahlul-batin).

Mungkin untuk membagi pemikiran ideologi (madzhab) sufiyah ekstrim kepada tiga 3 kategori, yaitu:

(1) kategori pertama: Pengikut sekolah isyroqi filosofi. Mereka adalah orang yang memberikan perhatian terbesar tehadap gagasan filosof melebihi dari yang lainnya  bersamaan dengan sikap menjauhi kehidupan dunia. Yang dimaksud dengan Isyroqi  (penerangan) adalah penerangan jiwa yang diterangi dengan cahaya, dan merupakan hasil dari latihan jiwa, pelatihan ruh dan menghukum badan untuk membersihkan dan menyucikan  jiwa.

Ini mungkin merupakan ciri semua orang sufi. Namun orang sufi kategori (pertama) ini berhenti pada batasan ini saja, dan tidak terjatuh pada pendapat yang menyatakan Alloh bersemayam didalam ciptaan-Nya (al-hulul), atau yang menyatakan bahwa segala sesuatu itu adalah Alloh (wihdatul wujud). Namun jalan mereka ini bertentangan dengan  ajaran  Islam dan diambil dari agama-agama yang menyimpang seperti ajaran budha dan semisalnya.

(2)  ideologi kedua adalah ideologi orang yang meyakini hulul, yang mengatakan bahwa Alloh bersemayam  dan merupakan perwujudan ingkarnasi  dari kejadian manusia, Maha tinggi Alloh dari yang mereka sifatkan. Seruan ini dinyatakan secara terang-terangan oleh Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj yang dicap kafir oleh ulama.  Mereka para ulama memerintahkan untuk mengeksekusi dan menyalibnya pada  tahun 309 H. 
Al-Hallaj berkata:
“Maha suci Allah yang nasuut-Nya telah menampakkan
          rahasia cahaya laahuut (ilahiyah)-Nya,
Kemudian Dia menampakkan diri kepada makhluk-Nya
          dalam wujud orang yang makan dan minum,
Sehingga ciptaan-Nya bisa melihat-Nya secara jelas
          seperti pandangan mata dengan pandangan mata” (Ath Thawaasin hal. 129)


Dia juga berkata:
“Saya adalah seorang yang mencintai dan seseorang yang dicintai adalah aku,
          kami adalah dua jiwa yang mendiami pada badan tunggal.
Maka ketika kamu melihatku, kamu melihat Dia,
          dan ketika kamu melihat Dia, kamu melihat kami berdua.”

Al-Hallaj ini adalah penganut pemahaman hulul. Dia mempercayai tentang  dualisme  alam ketuhanan (ilahiyah), dan bahwa  Ilah (tuhan) itu mempunyai alam ketuhanan (lahuut) dan alam manusia (nasuut). Ketuhanan bersemayam di dalam manusia, sehingga jiwa manusia adalah hakekat alam ketuhanan, sedang badannya adalah bentuk alam manusianya (nasuutnya).

Meskipun dia dibunuh karena kezindiqannya (kemurtadan munafik) dan beberapa kalangan sufi menyatakan diri mereka terbebas dari dia, namun masih ada kalangan orang sufi yang menganggapnya sebagai seorang sufi, membenarkan keyakinannya, dan mengambil pendapatnya. Diantara mereka adalah Abdul-'Abbas bin 'Ata Al-Baghdadiy, Muhammad bin Khafif Ash-Shirazi dan Ibrahim An-Nasrabadzi, sebagaimana dinukilkan Al-Khatib Al-Baghdadiy.

(3)  ideologi ketiga adalah wihdatul wujud, yaitu bahwa semua wujud adalah hakekat tunggal, dan bahwa segala sesuatu yang kami lihat hanyalah sisi keberadaan Alloh.  Pentolan yang menyatakan keyakinan ini adalah Ibnu 'Arobi Al-Hatimi At-Thoi, yang dikubur di Damaskus, mati tahun 638 H. Dia sendiri mengatakan keyakinannya ini di Kitabnya Al-Futuhat Al-Makkiyyah:
Hamba adalah Tuhan dan Tuhan adalah hamba
          Duhai siapa yang dibebani (ibadah)?
Jika saya katakan saya adalah hamba itu betul.
          Dan jika saya katakan saya adalah Tuhan, maka bagaimana akan dibebani?

Dia juga berkata di Al-Futuhat:
"Orang-orang yang mengibadahi  anak sapi, mereka ini tidak mengibadahi kecuali Alloh.”

Ibn ‘Arabi ini disebut sebagai Al-‘Arif billaah (orang yang mempunyai ma’rifat tentang Alloh) oleh  Orang-orang sufi. Dia juga disebut Al-Qutub Al-Akbar’ (poros terbesar), Al-Misk Al-Azhfar (Misik terharum), Al-Kibrit Al-Ahmar (belerang merah), padahal dia menyerukan wihdatul wujud dan perkataan celaka yang lain. Dia memuji Fir'aun dan menyatakan bahwa Fir’aun meninggal di atas keimanan! Dia juga mencela Nabi Harun yang mengingkari kaumnya ketika mereka menyembah patung anak sapi, yang ini jelas menyelisihi nas Al-Qur’an. Dia juga berpendapat hanya kaum nasrani (Kristen) saja yang kafir, karena mereka mengkhususkan uluhiyah (pengibahan) hanya kepada Nabi Isa, namun jika mereka menjadikannya umum (mengibadahi semua makhluk) mereka tidak kafir.

Meskipun sangat jelas kesesatan Ibnu ‘Arobi dan pernyataan para ulama bahwa dia kafir, namun orang-orang sufi senantiasa mensucikannya.

Ibnu ‘Arabi, tokoh sufi tadi, juga berkata : “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah !” (Fushushul Hikam).
Betapa kufurnya kata-kata ini …, tidakkah orang-orang sufi sadar akan kesesatan gembongnya ini ?!

Ibnu ‘Arabi juga berkata: “Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya, dan Dia menyembahku dan aku pun menyembah-Nya.” (Al Futuhat Al Makkiyyah).

Padahal Allah Ta’ala telah berfirman :
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat : 56).
“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Allah Yang Maha Pemurah dalam keadaan sebagai hamba.” (Maryam: 93).

Jalaluddin Ar Rumi, seorang tokoh sufi yang kondang berkata: “Aku seorang muslim, tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zorodoaster, bagiku tempat ibadah sama … masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.

Padahal Allah Ta’ala berfirman :
“Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran : 85)

Tidakkah orang-orang yang terpengaruh dengan tasawwuf sadar akan kesesatan sufiyah yang diucapkan para tokoh sufiyah ini?! Tidakkah mereka mengambil pelajaran??!


***




Sabtu, 17 Oktober 2009

Mengapa disebut dengan nama itu?  Kata sufi diambil dari sebuah kata yunani 'Sophia' yang bermakna kebijaksanaan. Dikatakan juga bahwa sufi adalah sebuah kata yang dihubungan dengan memakai pakaian wol (shuf). Dan perkataan ini adalah yang paling mendekati karena pakaian wol merupakan tanda kezuhudan mereka (yaitu melepaskan diri dan menjauh dari kehidupan dunia). Dikatakan bahwa hal ini dilakukan untuk meneladani 'Isa bin Maryam 'alaihis-salaam.

Muhammad bin Siriin [seorang tabiin terkenal yang meninggal pada tahun 110 H] disampaikan kepada dia bahwa orang tertentu memakai pakaian wol untuk meneladani 'Isa bin Maryam, maka dia berkata:
إن قوما يتخيرون لباس الصوف يقولون إنهم يتشبهون بالمسيح بن مريم ، وهدي نبينا أحب إلينا وكان صلى الله عليه وسلم يلبس القطن وغيره ،
“Ada satu kaum yang memilih dan mengutamakan memakai pakaian wol, mengaku bahwa mereka ingin meneladani Al-Masih bin Maryam. Tetapi jalan Nabi kita lebih kita cintai, dan  Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memakai katun dan pakaian lain.”

Kemunculan pertama Aliran sufi
Berhubungan dengan kemunculan pertama kali aliran sufi, kata ‘sufi’ tidak dikenal pada jaman shahabat, lebih-lebih kata tersebut tidak diketahui dalam tiga generasi pertama yang terbaik. Istilah tersebut dikenal setelah penghujung tiga generasi pertama.
Kemunculan pertama aliran sufi di Basrah, 'Iraq. Dimana beberapa orang ingin berlebih-lebihan dalam ibadah dan dalam menghindari kehidupan keduniaan, sebagaimana tidak ditemukan di tempat lain.

Bagaimana Aliran sufi lahir?
Ketika aliran sufi pertama muncul tidaklah ada ciri khusus mereka yang sangat jelas, tetapi hanya sebuah masalah mulai berlebihan dalam meninggalkan kehidupan dunia, dan terus-menerus dalam dzikir (mengingat Alloh) dan membiasakan dengan rasa khouf (takut) yang berlebihan dalam mengingat Alloh yang kadang mengakibatkan seseorang pingsan atau mati ketika mendengar sebuah ayat yang menyebutkan sebuah ancaman adzab/siksa. Hal ini terlihat dalam kisah Zurarah bin Aufa  -hakim Basrah- yang dibacakan: “Ketika sangkakala ditiup.” [Al-Mudatsir 73:8] dalam sholat  Fajr dan dia jatuh meninggal. Kisah yang serupa pada Abu Jahr Al-A’ma, ketika Sholih Al-Murri membacakan qur’an kepada dia dan dia jatuh mati. Selain dari mereka ada yang pingsan ketika mendengar  Al-Qur’an.

Hal seperti ini tidak ditemukan di antara para sahabat, sehingga sekelompok  sahabat dan tabiin seperti Asma' binti Abi Bakr dan 'Abdulloh bin Az-Zubair dan Muhammad bin Sirin mengkritik hal tersebut sebab mereka melihat bahwa hal tersebut merupakan bid’ah dan bertentangan dari apa yang mereka ketahui dari cara Sahabat.

Ibnul Jauzi berkata:
“Aliran sufi adalah suatu jalan orang, yang dimulai dari mengabaikan seluruh kehidupan dunia, kemudian mereka yang mengikat diri pada jalan tersebut, mereka terjebak dalam memperbolehkan menyanyi dan menari. Oleh karena itu selanjutnya para pencari akhirat dari orang awam menjadi tertarik kepada mereka karena mereka meninggalkan kehidupan dunia yang mereka wujudkan, dan  pencari akhirat ada juga yang tertarik kepada mereka karena kehidupan yang mudah dan  permainan.” [Talbis Iblis hal.161]

Berikut ini akan dibawakan tentang alasan kemunculan aliran sufi dan  sumber-sumber perkembangannya:
1. sumber pertama: beberapa ahli ibadah di antara muslimin memalingkan semua perhatiannya untuk meninggalkan kehidupan dunia dan mengkhususkan diri mereka untuk ibadah. Sumber pertama ini muncul pada zaman Nabi Sholallohu ‘Alaihi Wa Sallam ketika beberapa sahabat memutuskan untuk menghabiskan malam untuk bersungguh-sungguh dalam sholat dan meninggalkan tidur. Yang lain memutuskan untuk puasa setiap hari tanpa berbuka. Yang lain memutuskan untuk tidak menikah dengan wanita. Sehingga ketika berita itu sampai pada Nabi Sholallohu ‘Alaihi Wa Sallam dia berkata:
“Apa yang terjadi dengan orang yang mengatakan demikian dan demikian. Saya berpuasa tetapi saya berbuka, saya sholat malam tapi saya juga tidur, dan saya menikahi wanita. Barangsiapa membenci sunnahku, maka dia bukan golonganku.” (HR. Bukhori dan Muslim).

Lebih lagi bid’ah kehidupan seperti rohib (rohbaniyah) dilarang dalam  Al-Qur’an. Alloh berkata:
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا
“...rohbaniyah yang mereka ada-adakan untuk diri mereka...” [Al-Hadid: 27].

Namun ketika  Nabi Sholallohu ‘Alaihi Wa Sallam meninggal, dan banyak orang masuk ke dalam Islam dari  agama-agama sebelumnya. Kemudian sekelompok orang berlebihan dalam meninggalkan kehidupan dunia dan hal itu dibiarkan tumbuh dan aliran sufi menemukan sebuah tempat di hati-hati orang-orang ini, karena hal itu datang pada tanah yang subur untuk ditanami.

2. Masalah kedua yang menarik jiwa orang-orang adalah sesuatu yang muncul di antara muslimin dalam bentuk dua ideologi. Satu diantaranya adalah pemahaman filsafat, yang lain adalah agama-agama sebelumnya.

Yang pertama, merupakan sisi pandang dari sekolah filosof yang menyatakan bahwa ma’rifah (pengetahuan) diperoleh dalam jiwa dengan latihan jiwa dan pensucian jiwa.

Ideologi yang kedua, berupa kepercayaan bahwa ketuhanan bersemayam di dalam jiwa manusia, atau keyakinan bahwa ketuhanan hasil reinkarnasi sifat kemanusiaan. Gagasan ini muncul untuk mendapat tempat di antara sekte-sekte bathil yang menisbatkan diri mereka kepada Islam pada masa-masa awal, ketika muslimin bercampur dengan kristen. Gagasan ini muncul di antara Sabaiyah dan sebagian Kaisaniyah, kemudian  Qaramitah, kemudian di antara Batiniyah, kemudian dalam bentuk akhir muncul di antara beberapa pengikut sufi.

3. Ada sumber lain yang diambil, dan yang menyebabkan ada kecenderungan kepada sufi, dimana menurut para pengikut sufiyah bahwa nas-nas Al-Kitab dan Sunnah, itu mempunyai yang zhohir (mempunyai makna tersurat yang jelas) dan yang bathin (pengertian tersirat yang tersembunyi)... kelihatan bahwa sangat jelas mereka mengambil gagasan ini dari Bathiniyah.

Sehingga semua jenis gagasan ini dicampur, dimulai dari sikap berlebihan dalam meninggalkan kehidupan dunia sampai membuka pintu bid’ah gagasan bahwa ketuhanan bersemayam dalam makhluk, sampai gagasan bahwa semua makhluk adalah satu hakikat, yang merupakan Alloh (wihdatul wujud). Dari  percampuran semua pemikiran ini lahir aliran sufi, yang muncul dalam Islam. Aliran ini  berkembang pada abad empat dan lima dan mencapai puncaknya setelah itu, yang semakin jauh dari petunjuk Al-Qur’an Al-Karim dan Sunnah yang murni. Sampai para pengikut aliran sufi menyebut semua yang mengikuti Al-Qur’an dan  Sunnah sebagai  ‘ahli syari'at’ dan ‘ahli tekstual’ (ahlul-dhaahir), sedangkan mereka menyebut  diri mereka  sebagai ‘ahli hakikat’ dan ‘orang yang punya pengetahuan tersembunyi’ (ahlul-batin).
#####

Pada artikel yang telah lalu, kita telah menyebutkan Imam Syafii telah mencela sufiyah (shufiyyah) karena kesesatan mereka. Beliau telah menyebutkan ciri-ciri mereka untuk memperingatkan agar tidak tertipu dengan mereka dan masuk ke dalam bid’ah sufiyah.

Dalam pertemuan ini, kita akan membawakan beberapa landasan pondasi sekte sufiyah secara ringkas, sehingga kita mengetahui dengan sebenarnya hakekat sufiyah.

1.    Sufiyah Membuat Perpecahan Dalam Agama


Aliran Sufiyyah mempunyai banyak tarekat (jalan). Antara lain: Tijaniyyah, Qadariyyah, Naqsyabandiyyah, Syadzaliyyah, Rifa’iyyah dan lainnya yang semuanya mengaku diatas jalan yang benar dan menganggap jalan yang lain adalah batil/salah.
Padahal Islam telah melarang adanya perpecahan (membuat jalan baru), seperti firman Allah:
“...dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Rum :31-32)

2.    Sufiyyah berdo’a kepada selain Allah yaitu kepada Nabi, para wali yang hidup dan yang telah mati.
Mereka berdoa menyeru: “Yaa Jailani! Yaa Rifa’i! Wahai Rasulullah!” dengan tujuan istighatsah dan memohon pertolongan atau dengan ucapan, “Wahai Rasulullah! Engkaulah tempat bersandar.”

Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
”Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika engkau berbuat yang demikian itu maka sesungguhnya engkau termasuk orang-orang yang zhalim (musyrik).” (Yunus: 106)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda :
“Doa itu adalah ibadah.” (HR. Tirmidzi dengan sanad hasan shahih)

Maka do’a itu adalah ibadah seperti halnya shalat. Kalau shalat tidak boleh ditujukan kepada selain Allah, maka demikian pula doa tidak boleh ditujukan kepada selain Allah, sekalipun kepada Rasul dan para Nabi. Karena hal itu termasuk perbuatan syirik akbar (besar) yang dapat menghapus amal baiknya di dunia, menjadikan pelakunya keluar dari Islam menjadi seorang yang kafir dan pelakunya kekal di neraka.

3.    Aliran Sufi meyakini bahwa di bumi ini ada badal-badal dan kutub-kutub juga wali-wali yang Allah menyerahkan kepada mereka segala urusan dan pemeliharaannya, seperti mencipta, mengatur dan sebagainya

Padahal orang musyrikin di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam saja tidak meyakini demikian, sebagaimana yang dikisahkan Allah ketika ditanya siapa pencipta alam ini:
“... dan siapakah yang mengatur segala urusan? Maka orang-orang musyrik itu menjawab: Allah.” (Yunus: 31)

Sedang orang-orang sufi itu meyakini bahwa ada selain Allah yang mengatur alam ini. Mereka ini adalah wali-wali Allah menurut mereka.

4.    Aliran Sufi berharap kepada selain Allah ketika ditimpa musibah
Padahal firman Allah:
“... Dan bila kamu ditimpa kemudharatan (musibah), maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-An’am: 17)

5.    Sebagian aliran Sufi meyakini adanya wihdatul wujud (menyatunya hamba dengan Allah)
Sehingga tidak berbeda antara pencipta dan makhluk dan semua makhluk bisa menjadi sesembahan. Hal ini dikatakan oleh Ibnu Arabi (tokoh sufi) yang telah dikubur di Damaskus, dia mengatakan:
Hamba ini adalah Tuhan dan Tuhan adalah hamba
Wahai siapa yang dibebani (ibadah)?
Jika saya katakan saya adalah hamba itu betul.
Dan jika saya katakan saya adalah Tuhan, maka bagaimana akan dibebani?


Ini adalah kesyirikan akbar yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Bagaimana seorang manusia mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan, yang berikutnya ia mengatakan bahwa ia terbebas dari kewajiban ibadah (karena ia sudah berkedudukan sebagai Tuhan)?

6.    Aliran sufi menyeru untuk zuhud kepada dunia dan meninggalkan asbab-asbab (dalam memperoleh kebutuhan di dunia)
Mereka berlebihan dalam meninggalkan kehidupan dunia sampai kepada batasan terjatuh dalam kerahiban.

At-Tusturi (-283 H) mengatakan: “Seorang sufi adalah orang yang memandang darahnya (jiwanya) itu sia-sia tidak bernilai dan miliknya itu boleh dijamah siapapun.”

Abul Husain An-Nuri ( - 295 H) berkata: “Tashawwuf (tasawuf) itu meninggalkan setiap kepentingan jiwa.”

Padahal ini menyelisihi firman Allah:
وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kebutuhan) duniawi.” (Al-Qossos: 77)

Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu pernah memberi nasehat:
إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ
“Sesungguhnya Rabbmu mempunyai hak yang harus kamu penuhi. Dirimu juga mempunyai hak yang harus kamu penuhi. Keluargamu pun juga mempunyai hak yang harus kamu penuhi. Maka berikanlah hak kepada setiap yang berhak!”
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membenarkan Salman. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

7. Pengkultusan /pemujaan syaikh-syaikh dan menyerahkan ketundukan kepada mereka, bersikap ghuluw (berlebihan) kepada mereka.
Bahkan aliran Sufi memberikan kedudukan ihsan kepada Syaikh-Syaikh mereka. Mereka meminta kepada pengikut-pengikutnya untuk membayangkan syaikh-syaikh mereka itu ketika berdzikir kepada Allah, bahkan dalam shalat mereka sekalipun. Pernah seorang dari mereka meletakkan gambar syaikhnya di hadapannya dalam shalat, sedangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Al-Ihsan adalah kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak dapat melihat-Nya ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia melihat-Mu.” (HR. Muslim)

8.    Aliran Sufi mengatakan bahwa beribadah kepada Allah itu jangan takut neraka-Nya atau mengharap surga-Nya.

Hal ini seperti yang dikatakan oleh Rabi’ah Al-‘Adawiyyah (salah seorang tokoh sufi wanita, yang pekerjaannya adalah sebagai biduawanita):
“Ya Allah! Jika aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu maka tenggelamkanlah aku di dalamnya, dan jika aku beribadah kepada-Mu karena mengharap surga-Mu maka haramkanlah aku darinya.”

Dan juga pernah pengikut aliran sufi menyanyikan perkataan Abdul Ghani an-Nabilisy:
“Barangsiapa beribadah karena takut neraka Allah, berarti dia penyembah api. Dan barangsiapa yang beribadah karena menginginkan surga berarti dia penyembah berhala.”

Sementara Allah SWT memuji para Nabi yang mereka itu berdo’a untuk mendapatkan surga Allah dan takut dengan neraka-Nya. Allah SWT berfirman:
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا (90)
“Sesungguhnya mereka adalah orang yang selalu bersegera dalam mengerjakan kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan harap dan cemas.” (Al-Anbiyaa’: 90)
Maksudnya, mereka sangat mengharapkan surga Allah dan takut (cemas) pada siksa (neraka) Allah.

Allah menerangkan kepada Rasul-Nya :
قُلْ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ (15)
“Katakanlah: Sesungguhnya aku takut akan azab yang besar (hari kiamat) jika kamu mendurhakai Tuhan-ku.” (Al-An’am: 15)

Ibnu Baththah rahimahullah memperingatkan dari Sufiyah yang menggugurkan dua rukun ibadah, yaitu: rasa takut (khouf) dan rasa harap (roja’), karena mereka mengaku merasa cinta (hubb) dan rindu (syauq) kepada Allah. Beliau berkata tentang Sufiyah:
“Mereka ini orang-orang yang punya keinginan yang rendah, dan aturan-aturan agama yang bid’ah (diada-adakan). Mereka menampakkan seolah-olah zuhud. Dan semua penyebab mereka adalah kegelapan. Mereka mengaku rindu dan cinta kepada Allah, dengan menggugurkan khouf (rasa takut) dan roja’ (rasa berharap). Mereka mendengarkan dendangan para pemuda (tampan) dan juga para wanita. Mereka menyanyi, pingsan dan pura-pura pingsan serta pura-pura mati. Semua itu karena akuan mereka sangat rindu dan cinta kepada Allah.” (Talbis Iblis hal. 237)

9.    Aliran Sufi membolehkan menari, bermain musik dan mengeraskan suara ketika berzikir.
Kita dapat menyaksikan pengikut aliran sufi itu berdzikir dengan lafadz Allah saja dan pada akhirnya berdzikir dengan lafadz ‘Hu’ (Dia) saja. Padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Dzikir yang paling utama adalah Laa Ilaaha Illallah (HR. Tirmidzi dengan sanad hasan shahih)
Jadi, tidak dengan ‘Allah’ dan ‘Hu’ saja.

Di dalam berdzikir mereka mengangkat suaranya dengan keras dan bersamaan (koor/berjama’ah), padahal berdo’a seperti itu terlarang berdasarkan firman Allah:
“Berdo’alah kepada Tuhan-mu dengan merendahkan diri dan suara yang lembut, sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-A’raaf: 55)
Maksudnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan dalam berdo’a dengan terlalu cepat dan dengan suara yang keras. (Lihat Tafsir Jalalain Imam Suyuthi).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mendengar para shahabat mengeraskan suaranya dalam berdzikir, maka Beliau  shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada mereka :
“Wahai manusia! rendahkanlah suaramu, sesungguhnya kalian tidak menyeru kepada dzat yang tuli dan tidak ada, tetapi kalian berdo’a kepada Dzat Yang Maha Mendengar dan Maha Dekat dan Allah senantiasa bersamamu.” (HR. Muslim)
Allah bersamamu dengan Pendengaran dan Ilmu-Nya dan Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.

10.    Aliran Sufi biasa berdzikir dengan menyebut nama arak (khomer) dan memabukkan
Seperti yang diucapkan oleh seorang penyair Sufi yang bernama Ibnu Farid:
“Kami minum (mabuk) dengan menyebut Yang Tercinta, kami mabuk dengan mudamah sebelum diciptakannya anggur.”
Ada kelompok Sufi bernyanyi di dalam masjid dengan ucapan syair: “Berilah kami Ar-Raah, tuangkan untuk kami semangkok.”

Ar-Raah dan Al-Mudamah dalam syair ini maksudnya adalah khamer.

Mereka aliran sufi tidak punya malu, berdzikir dengan nama khamer di masjid-masjid Allah yang semestinya masjid digunakan untuk menyebut nama Allah saja, bukannya khamer yang haram itu.

11. Mereka membuka pintu bid’ah (mengada-adakan) dalam agama.

12. Mereka juga menutup pintu amar ma’ruf nahi munkar, dengan alasan tidak mau menentang syaikh, meskipun syaikhnya melakukan perbuatan nista. Karena mereka mengaku bahwa syaikh mereka dapat wahyu dari Allah sebagaimana para nabi. Padahal para nabi pun yang mendapat wahyu, mereka adalah orang yang paling taat kepada syariat Allah dan sangat jauh dari perkara maksiat.


13. Pembagian ilmu menjadi Syari’at dan Hakikat, yang mana bila seseorang telah sampai pada tingkatan hakikat berarti ia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah Ta’ala, oleh karena itu gugurlah baginya segala kewajiban dan larangan dalam agama ini.

Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman bahwasanya perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani, karena Yahudi dan Nashrani beriman dengan sebagian dari isi Al Kitab dan kafir dengan sebagiannya, sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya (karena mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat hakikat, tidak lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama ini)

14. Keyakinan bahwa orang-orang Sufi mempunyai ilmu Kasyaf (dapat menyingkap hal-hal yang tersembunyi) dan ilmu ghaib. Allah Ta’ala dustakan mereka dalam firman-Nya:
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ
“Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah.” (An-Naml: 65)

15. Keyakinan bahwa Allah Ta’ala menciptakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam dari nuur / cahaya-Nya, dan Allah Ta’ala ciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam. Padahal Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ
“Katakanlah (Wahai Muhammad), sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku …” (Al-Kahfi: 110).
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ
“(Ingatlah) ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku akan ciptakan manusia dari tanah liat’.” (Shaad: 71)

Dan sufiyah jaman dulu itulah yang menanamkan benih penyimpangan dalam tasawwuf mereka. Meskipun hal itu tidak nampak melainkan secara bertahap sesuai berjalannya masa.

Sedang tasawwuf pada masa sekarang adalah penerus dari para pendahulunya. Ini dibuktikan dengan keadaan sufiyah pada masa sekarang.

Saudara-saudaraku, ini sedikit pembahasan tentang sufiyah. Hal ini karena aliran sufi telah berpengaruh besar pada kehidupan muslimin sejak abad ketiga Hijriah sampai hari ini, dan mencapai puncaknya pada abad terakhir. Ia telah besar mempengaruhi keyakinan muslimin dan menyelewengkannya dari jalan yang benar, yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an Al-Karim dan Sunnah yang suci.

Hal ini adalah sisi yang paling berbahaya dari aliran sufi karena pemikiran sufi telah digabung dengan pemujaan terhadap para wali dan para masyayikh dan ghuluw (berlebihan) dalam memuja orang-orang mati. Sebagaimana ada di antara mereka yang berpendapat bahwa segala sesuatu keberadaannya dalam hakikat Alloh (wihdatul-wujud).

Sebagaimana mereka telah menghilangkan semangat jihad, yaitu berperang di jalan Alloh untuk membuat kalimat Allah itu yang mulia, dengan sesuatu yang mereka akui sebagai jihad terbesar, yaitu jihad dalam melawan jiwa mereka sendiri (jihadun-nafs). Mereka mendasarkan pada hadits: "Kita kembali dari jihad kecil kepada jihad yang besar: yaitu berjihad melawan jiwa mereka sendiri." Padahal ini bukan hadits dan tidak ada asalnya. Dan telah hadits palsu ini telah memberikan kesempatan dalam dua abad lalu bagi penjajah untuk menjajah negri-negri Muslim, dan aliran sufi telah menjangkiti setiap rumah di semua wilayah negri-negri Muslimin.
***



Aqidah ahlussunnah dibangun di atas dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah dan prinsip yang dipegang oleh para shohabat yang mulia, semoga Allah meridhai mereka semua. Aqidah yang bersih dan sangat jelas, tidak susah dipahami dan rumit.

Beda dengan lainnya yang bersandar kepada logika akal dan menakwil dalil-dalil naql (wahyu). Dimana mereka membangun aqidah keyakinan mereka di atas ilmu kalam. Itupun akhirnya para ahli kalam menjelaskan bahaya yang ada dalam ilmu kalam. Mereka menyesal karena habis waktu mereka dengan ilmu kalam, namun tidak sampai kepada kebenaran. Ujung kesudahan mereka adalah kebingungan dan penyesalan. Di antara mereka ada yang diberi taufik untuk meninggalkan ilmu kalam dan mengikuti jalan salaf. Mereka juga mencela ilmu kalam.

Abu Hamid Al-Ghozali rahimahullah termasuk dari orang-orang yang mapan menguasai ilmu kalam. Namun bersamaan dengan itu dia mencela ilmu kalam, bahkan sangat keras celaannya. Dia menjelaskan bahaya ilmu kalam, dia mengatakan dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin hal 91-92:
"أمَّا مضرَّته، فإثارةُ الشبهات وتحريك العقائد، وإزالتها عن الجزم والتصميم، فذلك مِمَّا يحصل في الابتداء، ورجوعُها بالدليل مشكوك فيه، ويختلف فيه الأشخاص، فهذا ضررُه في الاعتقاد الحقِّ، وله ضررٌ آخر في تأكيد اعتقاد المبتدعة للبدعة، وتثبيته في صدورهم، بحيث تنبعث دواعيهم، ويشتدُّ حرصُهم على الإصرار عليه، ولكن هذا الضرر بواسطة التعصُّب الذي يثور من الجدل".
“Adapun bahaya ilmu kalam manthiq, yaitu akan memberikan kerancuan dan menggoyangkan aqidah, dan menghilangkan penetapan aqidah. Itulah diantara bahaya pada permulaannya. Dan kembalinya dengan dalil diragukan. Dalam hal ini orang berbeda-beda. Ini bahayanya dalam keyakinan yang benar. Dan ilmu kalam mantiq punya bahaya yang lain dalam mengokohkan keyakinan ahli bid’ah pada bid’ah dan mengokohkan keyakinan itu dalam dada-dada mereka, dimana faktor-faktor pendorongnya akan bangkit dan bertambah kuat semangat mereka di atas ilmu kalam. Namun bahaya ini dengan perantaraan fanatik yang muncul dari jidal (debat).”

Sampai dia mengatakan:
"وأمَّا منفعتُه، فقد يُظنُّ أنَّ فائدَتَه كشفُ الحقائق ومعرفتُها على ما هي عليه، وهيهات؛ فليس في الكلام وفاء بهذا المطلب الشريف، ولعلَّ التخبيط والتضليل فيه أكثر من الكشف والتعريف، وهذا إذا سمعته من محدِّث أو حشوي ربَّما خطر ببالك أنَّ الناسَ أعداءُ ما جهلوا، فاسمع هذا مِمَّن خَبَر الكلامَ ثم قلاه بعد حقيقة الخبرة وبعد التغلغل فيه إلى منتهى درجة المتكلِّمين، وجاوز ذلك إلى التعمُّق في علوم أخر تناسبُ نوع الكلام، وتحقق أنَّ الطريقَ إلى حقائق المعرفة من هذا الوجه مسدود، ولعمري لا ينفكُّ الكلام عن كشف وتعريف وإيضاح لبعض الأمور، ولكن على الندور في أمور جليَّة تكاد تفهم قبل التعمُّق في صنعة الكلام".
“Adapun manfaat ilmu kalam, disangka bahwa faedahnya adalah menyingkap dan mengetahui hakekat sebenar-benarnya. Jauh, jauh sekali persangkaan itu. Dalam ilmu kalam tidak ada yang memenuhi tujuan yang mulia ini. Bahkan pengacauan dan penyesatan dalam ilmu kalam itu lebih banyak daripada penyingkapan dan pengenalan hakekat. Ini jika engkau mendengarnya dari seorang muhaddits atau hasyawi. Kadang terbetik di benakmu bahwa manusia adalah musuh selama mereka tidak mengetahui. Dengarkan ini dari orang yang telah mendalami ilmu kalam, kemudian membencinya setelah mengetahui dengan sebenarnya dan sampai dengan susah payah kepada puncak derajat ahli kalam, lalu melewati hal itu menuju ilmu-ilmu yang lain yang sesuai dengan jenis ilmu kalam, kemudian yakin bahwa jalan menuju hakekat ma’rifat (pengenalan) dari sisi ini tertutup. Sungguh, ilmu kalam itu tidak memberi manfaat kepadamu untuk menyingkap, mengenalkan dan memperjelas sebagian perkara. Namun kadang-kadang dalam perkara yang jelas, hampir engkau paham sebelum engkau mendalami ilmu kalam.”

Ibnu Rusyd Al-Hafid -beliau juga termasuk orang yang paling tahu dengan madzhab dan pendapat ahli filsafat, di kitabnya Tahafut At-Tahafut berkata:
(ومَن الذي قال في الإلَهيات شيئاً يعتدُّ به؟)،
“Siapakah orangnya yang berkata sesuatu tentang ilahiyah, kemudian dianggap pendapatnya?”

Demikian juga Al-Amidi -orang termulia di masanya- dia diam berhenti bingung dalam permasalahan yang besar.

Demikian juga Abu ‘Abdillah Muhammad bin Umar Ar-Rozi berkata dalam kitabnya tentang macam-macam dzat:
نِهايةُ إقدام العقول عِقالُ ... وغايةُ سعي العالمين ضلالُ
وأرواحنا في وحشة من جسومنا ... وحاصلُ دنيانا أذَى ووبالُ
ولم نستفد من بحثنا طول عمرنا ... سوى أن جمعنا فيه: قيل وقالوا
فكم قد رأينا من رجال ودولةٍ ... فبادوا جميعاً مسرعين وزالوا
وكم من جبال قد عَلَت شُرُفاتِها ... رجالٌ فزالوا والجبالُ جبالُ
لقد تأمَّلتُ تلك الطرق الكلامية والمناهج الفلسفية، فما رأيتُها تشفي عليلاً، ولا تُروي غليلاً، ورأيتُ أقربَ الطرق طريق القرآن، اقرأ في الإثبات {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى}، {إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ}، واقرأ في النفي {لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ}، {وَلا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْماً}، ثم قال: "ومَن جرَّب مثلَ تجربَتِي، عرف مثل معرفتِي".
Akhir dari mendahuluan akal adalah belenggu
        Dan puncak usaha orang-orang yang tahu adalah kesesatan
Ruh-ruh kita liar dalam jasad-jasad kita
        Dan hasil dunia kita adalah kesusahan dan bencana
Kita tak memperoleh dari pembahasan kita sepanjang umur kita
        Selain kita mengumpulkan: katanya dan katanya
Betapa banyak kita melihat para tokoh dan negara
        Kemudian mereka semua binasa dan musnah
Betapa banyak gunung (ilmu kalam) yang telah didaki puncaknya
        Oleh orang-orang, kemudian mereka binasa, sedang gunung itu tetap gunung


Aku telah memperhatikan berbagai metode ilmu kalam dan manhaj-manhaj ahli filsafat, namun aku memandang ia tidak bisa menyebuhkan dan memuaskan. Aku memandang jalan yang paling dekat adalah metode Al-Qur’an. Dan bacalah dalam penetapan sifat mulia untuk Allah: “Allah Yang Maha Penyayang istiwa di atas ‘Arsy”, “Dan kepada-Nya lah naik ucapan-ucapan yang baik”. Dan bacalah dalam peniadaan: “Tiada sesuatupun yang semisal dengan-Nya”, “Dan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” ... Barangsiapa yang mengalami seperti aku, dia akan tahu seperti aku.” (Lihat Tobaqot Asy-Syafiiyah 8/96 karya As-Subki)

Demikian Asy-Syaikh Abu Abdillah bin Abdil Karim Asy-Syihristani, dia tidak mendapati di sisi ahli filsafat dan ahli kalam selain kebingungan dan penyesalan. Dia berkata:
لعمري لقد طُفت المعاهد كلها ... وسَيَّرتُ طرفي بين تلك المعالم
فلم أر إلاَّ واضعاً كفَّ حائر ... على ذقن أو قارعاً سنَّ نادم
Demi umurku, sungguh aku telah mendatangi ma’had-ma’had semua
             dan aku jalankan kedua mataku antara petunjuk-petunjuk itu
Namun aku tak melihat kecuali dengan meletakkan tangan orang yang bingung
             Di dagu, atau menggertakkan gigi orang yang menyesal.”

Demikian juga Abul Ma’ali Al-Juwaini rahimahullah dia berkata:
يَا أَصْحَابَنَا لَا تَشْتَغِلُوا بِالْكَلَامِ فَلَوْ عَرَفْت أَنَّ الْكَلَامَ يَبْلُغُ بِي إلَى مَا بَلَغَ مَا اشْتَغَلْت بِهِ.
“Wahai para shababat kami, janganlah kalian sibuk dengan ilmu kalam. Kalau aku dulu tahu bahwa ilmu kalam itu akan menyampaikan kepada batas yang telah aku sampai sekarang, tentu aku tidak akan menyibukkan dengannya.”

Beliau juga berkata ketika mau meninggalnya:
"لقد خضتُ البحرَ الخِضَمَّ، وخلَّيتُ أهل الإسلام وعلومَهم، ودخلتُ في الذي نَهونِي عنه، والآن فإن لم يتداركنِي ربِّي برحمته، فالويل لابن الجوينِي، وها أنا ذا أموت على عقيدة أمِّي، أو قال: على عقيدة عجائز نيسابور"،
“Aku telah menyelami lautan besar (ilmu kalam). Aku juga meninggalkan kaum muslimin dan ilmu-ilmu mereka. Aku masuk dalam perkara yang mereka larang. Dan sekarang ... jika Rabbku tidak memberikan rohmat-Nya kepadaku, maka celakalah Ibnul Juwaini... Inilah aku yang meninggal di atas keyakinan (aqidah) ibuku, atau dia berkata: di atas aqidah orang tua-orang tua Naisabur.”

Demikian juga banyak lagi para tokoh ahli kalam yang bingung dan menyesal dengan ilmu kalam. Seperti Syamsuddin Al-Khosrusyahi –salah satu murid Fakhrur Rozi, Al-Khounji, dan lainnya.

Engkau dapati sebagian mereka ketika meninggalnya kembali kepada aqidah orang-orang tua biasa, dan menetapkan apa yang mereka tetapkan. Di antara ahli kalam tadi ada yang bingung dan goncang dalam masalah sifat Allah, kemudian kembali ke madzhab salaf.

Seperti Abu Hamid Al-Ghozali yang mempunyai i’tiqod menurut jalan para ahli kalam (mutakallimin). Sebagian ulama telah menukilkan perkataannya yang menunjukkan bahwa dia rujuk. Ini sebagaimana yang disebutkan Ibnu Abi Al-Izzi Al-Hanafi pensyarah Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah ketika membicarakan sekumpulan para ahli kalam dan kebingungan mereka:
"وكذلك الغزالي رحمه الله انتهى آخرُ أمرِه إلى الوقف والحيرة في المسائل الكلاميَّة، ثمَّ أعرَضَ عن تلك الطُّرُق، وأقبَل على أحاديث الرَّسول صلى الله عليه وسلم ، فمات و(البخاري) على صدره".
“Demikian juga Al-Ghozali rahimahullah, akhir hidupnya berakhir pada sikap diam dan kebingungan dari permasalahan-permasalahan ilmu kalam. Kemudian dia berpaling dari jalan-jalan ilmu kalam itu dan menghadap kepada hadits-hasits Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian meninggal dalam keadaan Shahih Al-Bukhari ada di dadanya.”

Dan di dalam kitabnya Iljam Al-‘Awam ‘An ‘Ilm Al-Kalam, Al-Ghozali memperingatkan agar tidak sibuk dengan ilmu kalam dan mendorong untuk sibuk dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan jalan yang ditempuh para salaf sholeh. (Ar-Rodd ‘Ala Ar-Rifai hal 99)

Di dalam Lisan Al-Mizan (4/427) dibawakan biografi Ar-Rozi –dia termasuk tokoh ahli kalam-:
"وكان مع تبحُّره في الأصول يقول: من التزم دينَ العجائز فهو الفائز
“Dia bersamaan dengan luasnya cakrawala /wawasan pengetahuan dia dalam ilmu ushul, dia mengatakan: ‘Barangsiapa yang memegang teguh agamanya orang-orang tua, maka dia beruntung.”

Ja’far bin Burqon, dia berkata: seseorang datang kepada Umar bin Abdil Aziz, kemudian menanyainya tentang sesuatu dari pemikiran bid’ah, maka dia menjawab:
الزَم دينَ الصبِيِّ في الكُتَّاب والأعرابيِّ، والْهُ عمَّا سوى ذلك
“Pegangilah agama anak-anak kecil dalam madrasah dan orang-orang pedusunan. Dan abaikan yang selain itu.” (HR. Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqot 5/374 dengan sanad shohih menurut imam Muslim, sebagaimana dikatakan Imam An-Nawawi dalam Tahdzib Al-Asma wal Lughot 2/22)

Bagaimana sekarang dengan para mahasiswa IAIN - UIN – STAIN dan lainnya, yang mereka sibuk dengan ilmu kalam mengikuti pemahaman mu’tazilah (rasionalis) yang asal pemikiran mereka berasal dari filsafat Al-Yunan. Mereka nantinya juga akan bingung, atau na’udzu billah ada yang ragu tidak meyakini aqidah (keyakinan) kaum muslimin. Hendaknya mereka sadar bahwa ilmu kalam tidak akan memberi manfaat sedikitpun, bahkan akan membawa dirinya kepada kebinasaan. Wallahu a’lam.

(Sumber Al-Adab Asy-Syar’iyyah, Ar-Rodd ‘Ala Ar-Rifai hal 99, dan Qothf Al-Jani hal 25-26, 30-31)
***

Minggu, 11 Oktober 2009


Telah lewat kepada kita artikel tentang hukuman Imam Asy-Syafii terhadap ahli kalam. Dan juga pernyataan beliau dan Imam An-Nawawi yang mengharamkan ilmu kalam. Demikian ini diantara hikmahnya karena ilmu kalam akan membawa seseorang kepada kebinasaan. Agamanya akan hancur dengan ilmu kalam. Dan na’udzu billah dia akan menghadap kepada Allah dalam keadaan ragu dengan agama Islam.

Imam Muslim telah meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ،  ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
“Celakalah orang-orang yang berdalam-dalam.” (tiga kali)

Imam Al-Khoththobi -salah seorang ulama madzhab syafii- menerangkan hadits ini:
المتنطع المتعمق في الشيء المتكلف للبحث عنه على مذاهب أهل الكلام الداخلين فيما لا يعنيهم الخائضين فيما لا تبلغه عقولهم
Al-Mutanaththu’ adalah orang yang berdalam-dalam dalam sesuatu, membebani diri untuk membahasnya menurut madzhab ahli kalam yang masuk kepada perkara yang tidak penting bagi mereka, membicarakan perkara yang tidak dicapai akal mereka.” (Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud)

Asalnya tanaththu’ adalah berdalam-dalam dalam pembicaraan untuk menampakkan kefasihan. Ini asal makna tanaththu’ secara etimologi. Dan tanaththu’ itu ada beberapa macam: dalam pembicaraan, dalam istidlal, dan dalam ibadah.

Yang berkaitan dengan uraian di sini bahwa salah satunya adalah tanaththu’ (berdalam-dalam) dalam masalah istidlal. Inilah jalan ahli kalam dan ahli manthiq yang menyimpang dari beristidlal dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, tetapi malah beristidlal dengan kaedah-kaedah ilmu manthiq dan istilah-istilah ahli kalam.

Ilmu mathiq (mantiq) itu berasal darimana? Kaedah-kaedah ilmu manthiq itu berasal dari mana? Datang dari Al-Yunan. Mereka para ahli manthiq mengambilnya dan menerapkannya dalam islam. Mereka tidak mau beristidlal dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan mengatakan: “Sesungguhnya dalil-dalil naqli (sam’iyyah/wahyu) tidak memberi faedah keyakinan. Yang memberi faedah keyakinan adalah dalil-dalil aqli” -menurut mereka-. Sehingga mereka binasa dengan hal itu, sebagaimana dinyatakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Yang wajib istidlal itu dengan dalil-dalil syar’i dari Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma para ulama muslimin, dan qiyas yang shahih, sebagaimana metode ahlussunnah wal jamaah.

Oleh karena itu Imam Asy-Syafii sangat keras terhadap ahli kalam sebagaimana yang telah lalu. Sampai beliau mengatakan:
حُكْمِي فِي أَهْلِ الْكَلَامِ أَنْ يُضْرَبُوا بِالْجَرِيدِ وَيُحْمَلُوا عَلَى الْإِبِلِ وَيُطَافَ بِهِمْ فِي الْقَبَائِل وَالْعَشَائِر ، وَيُنَادَى عَلَيْهِمْ هَذَا جَزَاءُ مَنْ تَرَكَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّة وَأَقْبَلَ عَلَى الْكَلَامِ
“Hukumku pada ahlil kalam, mereka dipukul dengan pelepah kurma, dan dinaikkan ke unta, kemudian diarak berkeliling di kabilah-kabilah dan suku-suku, kemudian diserukan tentang mereka ‘Ini balasan orang yang meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menghadap diri kepada Ilmu Kalam’.”
(Manaqib Asy-Syafii karya Al-Baihaqi 1/462, cet, Dar At-Turots).

Di antara ahli kalam ada yang meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menggantinya dengan kaedah-kaedah ilmu manthiq, sampaipun dalam masalah aqidah, yang sekarang disebut ilmu tauhid, tetapi mereka menyebutnya dengan ilmu manthiq dan ilmu kalm. Oleh karena itu mereka terjatuh pada kebinasaan. Mereka sudah sesat, menyesatkan lagi. Mereka sendiri berakhir pada kebingungan, sebagaimana disaksikan oleh para pembesar mereka. Sebagian mereka ketika meninggal, meminta kesaksian para hadirin bahwa dia meninggal dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, padahal dia telah menghabiskan umurnya dalam ilmu kalam, jidal dan ilmu manthiq.

Inilah tempat kembalinya orang-orang yang berdalam-dalam. Kita berlindung kepada Allah dari hal demikian. Persaksian diri mereka sendiri ada. Dan itu menunjukkan kebenaran sabda Nabi di atas.

(Sumber: Aunul Ma’bud, I’anatul Mustafid (1/279-280) dan lainnya)
***


Sebelum kita menyimak apa yang dikatakan para ulama tentang perdebatan, kita hendaknya meresapi kandungan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ: مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ
“Tidak ada satu kaum yang tersesat setelah mendapat petunjuk, melainkan karena mereka suka berjidal (debat untuk membantah)." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membaca ayat: "Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar. [Az-Zuhruf: 58]” (HSR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

I. Perkataan Imam Asy-Syafii rahimahullah
1. Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan tentang Imam Asy-Syafii rahimahullah:
وَكَتَبَ إلَيْهِ رَجُلٌ يَسْأَلهُ عَنْ مُنَاظَرَة أَهْلِ الْكَلَامِ ، وَالْجُلُوس مَعَهُمْ، قَالَ: وَاَلَّذِي كُنَّا نَسْمَع وَأَدْرَكْنَا عَلَيْهِ مَنْ أَدْرَكْنَا مِنْ سَلَفِنَا مِنْ أَهْل الْعِلْم أَنَّهُمْ كَانُوا يَكْرَهُونَ الْكَلَامَ وَالْخَوْضَ مَعَ أَهْل الزَّيْغ وَإِنَّمَا الْأَمْر فِي التَّسْلِيم وَالِانْتِهَاء إلَى مَا فِي كِتَابِ اللَّه عَزَّ وَجَلَّ وَسُنَّةِ رَسُوله لَا تَعَدَّى ذَلِكَ .
Seseorang menulis surat kepada Imam Asy-Syafii menanyainya tentang berdebat dengan ahli kalam dan duduk-duduk bersama mereka. Imam Syafii berkata: “Yang kami dengar dan kami dapati dari salaf (pendahulu) kami dari para ulama, bahwa mereka membenci ilmu kalam dan berdebat dengan orang-orang menyimpang. Agama itu hanyalah dalam tunduk dan berhenti kepada apa yang ada di Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak melampuinya.”

2. Az-Za’faroni berkata: Aku mendengar Asy-Syafii rahimahullah berkata:
مَا نَاظَرْتُ أَهْلَ الْكَلَام إلَّا مَرَّةً وَأَنَا أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ ذَلِكَ .
“Aku tidak mendebat ahli kalam kecuali sekali. Dan setelah itupun aku beristighfar kepada Allah dari hal itu.”

3. Imam Asy-Syafii rahimahullah berkata:
الْمِرَاءُ فِي الْعِلْمِ يُقَسِّي الْقُلُوبَ وَيُوَرِّثُ الضَّغَائِنَ .
“Berdebat dalam ilmu akan membuat keras hati dan mewariskan dendam.”

II. Perkataan Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah
1. Beliau berkata:
كُلَّمَا جَاءَ رَجُلٌ أَجْدَلُ مِنْ رَجُلٍ تَرَكْنَا مَا نَزَلَ بِهِ جِبْرِيلُ عَلَى مُحَمَّدٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ لِجَدَلِهِ ، وَقَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ : { عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي } الْخَبَرُ .
“Apakah setiap datang seseorang yang lebih pandai berdebat dari orang lain, kami akan meninggalkan wahyu yang diturunkan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam karena perdebatannya. Padahal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terlah bersabda: ‘Wajib kalian memegang teguh sunnahku’.”

2. Abul Muzhaffar As-Sam’ani berkata dalam Kitab Al-Intishor Li Ahlil Hadits: Imam Malik rahimahullah pernah ditanya siapa ahli bid’ah itu. Maka beliau menjawab:
أَهْلُ الْبِدَعِ الَّذِينَ يَتَكَلَّمُونَ فِي أَسْمَاءِ اللَّهِ تَعَالَى وَصِفَاتِهِ وَكَلَامِهِ وَعِلْمِهِ وَقُدْرَتِهِ ، وَلَا يَسْكُتُونَ عَمَّا سَكَتَ عَنْهُ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ .
“Ahli Bid’ah adalah orang-orang yang berbicara tentang Nama-Nama Allah, Sifat-Sifat-Nya, Kalamullah, Ilmu-Nya, dan Taqdir Allah, dan mereka tidak diam dari perkara yang para shohabat dan tabiin diam darinya.”

3. Imam Malik rahimahullah berkata:
لَيْسَ هَذَا الْجَدَلُ مِنْ الدِّينِ بِشَيْءٍ .
“Tidaklah jidal ini sedikitpun dari agama Islam.”

III. Perkataan Imam Ahmad rahimahullah
1. Abdus bin Malik Al-‘Aththar berkata: Aku mendengar Abu Abdillah Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata:
أُصُولُ السُّنَّةِ عِنْدَنَا التَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالِاقْتِدَاءُ بِهِمْ ، وَتَرْكُ الْبِدَعِ ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ فَهِيَ ضَلَالَةٌ ، وَتَرْكُ الْخُصُومَاتِ، وَالْجُلُوسِ مَعَ أَصْحَابِ الْأَهْوَاءِ ، وَتَرْكُ الْمِرَاءِ وَالْجِدَالِ.وَالْخُصُومَاتِ فِي الدِّينِ ... لَا تُخَاصِمْ أَحَدًا وَلَا تُنَاظِرْهُ ، وَلَا تَتَعَلَّمْ الْجِدَالَ فَإِنَّ الْكَلَامَ فِي الْقَدَرِ وَالرُّؤْيَةِ وَالْقُرْآنِ وَغَيْرِهَا مِنْ السُّنَنِ مَكْرُوهٌ مَنْهِيٌّ عَنْهُ لَا يَكُونُ صَاحِبُهُ إنْ أَصَابَ بِكَلَامِهِ السُّنَّةَ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ حَتَّى يَدَعَ الْجِدَالَ .
“Pokok-pokok aqidah menurut kami adalah berpegang teguh dengan yang dipegang oleh para shohabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan meneladani mereka, serta meninggalkan bid’ah. Karena semua bid’ah itu sesat. Dan juga untuk meninggalkan percekcokan dan duduk-duduk bersama ahlul ahwa, serta meninggalkan perdebatan, jidal, dan percekcokan dalam agama ... Janganlah engkau cekcok dengan seorangpun dan jangan mendebatnya. Janganlah engkau mempelajari jidal, sesungguhnya ilmu kalam dalam aqidah seperti dalam masalah taqdir, ru’yah (melihat Allah di hari kiamat), Al-Qur’an, dan lainnya adalah dibenci dilarang. Tidaklah pelakunya walau dia mencocoki aqidah (yang benar) dengan ilmu kalamnya menjadi ahlussunnah, sampai dia meninggalkan jidal.”

2. Al-‘Abbas bin Ghalib Al-Warroq berkata: Aku berkata kepada Ahmad bin Hambal: Wahai Abu Abdillah, aku duduk dalam satu majlis yang tidak ada yang mengetahui sunnah selainku. Kemudian ada seorang ahli kalam ahli bid’ah berbicara, apakah aku bantah dia?” Beliau menjawab: “Jangan engkau dudukkan dirimu untuk demikian ini. Beritahu kepadanya sunnah dan jangan berdebat.” Kemudian aku mengulangi perkataanku lagi, sampai beliau berkata: “Aku tidak memandangmu kecuali seorang yang suka membantah.”

IV. Perkataan para ulama yang lain
1. Al-Auza’i rahimahullah berkata:
عَلَيْكَ بِآثَارِ مَنْ سَلَفَ ، وَإِنْ رَفَضَكَ النَّاسُ ، وَإِيَّاكَ وَآرَاءَ الرِّجَالِ ، وَإِنْ زَخْرَفُوا لَك الْقَوْلَ ، فَلْيَحْذَرْ كُلُّ مَسْئُولٍ وَمُنَاظِرٍ مِنْ الدُّخُولِ فِيمَا يُنْكِرُهُ عَلَيْهِ غَيْرُهُ .وَلْيَجْتَهِدْ فِي اتِّبَاعِ السُّنَّةِ وَاجْتِنَابِ الْمُحْدَثَاتِ كَمَا أُمِرَ .
“Wajib kamu memegang atsar salaf (yang telah mendahului), meskipun orang-orang menolakmu. Dan hati-hati kamu dari ro’yu (logika) orang-orang, meskipun orang-orang menghiasi perkataan itu untukmu. Maka hendaklah setiap orang yang ditanya dan yang mendebat hati-hati dari masuk ke dalam perkara yang menyebabkan dia diingkari oleh yang lainnya. Dan bersungguh-sungguhlah dalam ittiba’ (mengikuti) sunnah dan menjauhi perkara-perkara baru sebagaimana diperintahkan.”

2. Al-Auza’i rahimahullah juga pernah berkata
إذَا أَرَادَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِقَوْمٍ شَرًّا فَتَحَ عَلَيْهِمْ الْجِدَالَ، وَمَنَعَهُمْ الْعَمَلَ .
“Jika Allah menginginkan kejelekan pada satu kaum, maka Allah akan membuka atas mereka jidal, dan menghalangi mereka dari beramal.”

2. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah -seorang tabiin- pernah ditanya: “Apakah engkau berjidal?” Dia menjawab:
لَسْتُ فِي شَكٍّ مِنْ دِينِي
“Aku tidak ragu dengan agamaku, (kenapa aku berjidal)?”

3. Seseorang (yang mau mendebat) berkata kepada Ayyub As-Sikhtiyani rahimahullah: “Bolehkah aku mengatakan kepadamu satu kata saja?” Ayyub rahimahullah menjawab: 
لَا وَلَا بِنِصْفِ كَلِمَةٍ .
“Tidak, dan tidak pula walaupun setengah kata.”
****

Imam Syafii dan Para Imam Lain Tentang Ilmu Kalam

Kita telah mengetahui sebagian pendapat Imam Syafii tentang hukuman bagi ahli kalam. Untuk lebih meyakinkan kita tentang bahayanya ilmu kalam, akan dibawakan perkataan para imam yang lainnya tentang ilmu kalam.

Telah banyak ungkapan para salaf, seperti Imam Syafii, Imam Ahmad dan lainnya yang memperingatkan dari ilmu kalam dan ahli kalam. Dan sebagaimana yang telah lalu bahwa ilmu kalam akan menghantarkan kepada syubhat (kesamaran) dan keraguan-keraguan.

I. Perkataan-perkataan Imam Asy-Syafii tentang ilmu kalam
1. Imam Ahmad berkata:
كَانَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إذَا ثَبَتَ عِنْدَهُ خَبَرٌ قَلَّدَهُ وَخَيْرُ خَصْلَة فِيهِ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَشْتَهِي الْكَلَام إنَّمَا كَانَتْ هِمَّتُهُ الْفِقْهَ
“Dulu Imam Asy-Syafii jika telah dipastikan di sisinya ada satu khobar (hadits), beliau mengikutinya. Dan sebaik-baik sifat Imam Syafii adalah tidak menginginkan ilmu kalam. Beliau hanya antusias dengan ilmu fiqih.”

2. Imam Ahmad meriwayatkan tentang Imam Asy-Syafii:
وَكَتَبَ إلَيْهِ رَجُلٌ يَسْأَلهُ عَنْ مُنَاظَرَة أَهْلِ الْكَلَامِ ، وَالْجُلُوس مَعَهُمْ، قَالَ: وَاَلَّذِي كُنَّا نَسْمَع وَأَدْرَكْنَا عَلَيْهِ مَنْ أَدْرَكْنَا مِنْ سَلَفِنَا مِنْ أَهْل الْعِلْم أَنَّهُمْ كَانُوا يَكْرَهُونَ الْكَلَامَ وَالْخَوْضَ مَعَ أَهْل الزَّيْغ وَإِنَّمَا الْأَمْر فِي التَّسْلِيم وَالِانْتِهَاء إلَى مَا فِي كِتَابِ اللَّه عَزَّ وَجَلَّ وَسُنَّةِ رَسُوله لَا تَعَدَّى ذَلِكَ
“Seseorang menulis surat kepada Imam Asy-Syafii menanyainya tentang berdebat dengan ahli kalam dan duduk-duduk bersama mereka. Imam Syafii berkata: “Yang kami dengar dan kami dapati dari salaf (pendahulu) kami dari para ulama, bahwa mereka membenci ilmu kalam dan berdebat dengan orang-orang menyimpang. Agama itu hanyalah dalam tunduk dan berhenti kepada apa yang ada di Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak melampuinya.”

3. Ar-Robi’ berkata: Aku mendengar Imam Asy-Syafii berkata:
لَأَنْ يَبْتَلِيَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الْعَبْدَ بِكُلِّ ذَنْبٍ مَا خَلَا الشِّرْكَ بِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ الْأَهْوَاءِ .
“Kalau Allah menguji seorang hamba dengan semua dosa selain menyekutukan-Nya, itu lebih baik baginya daripada al-ahwa (bid’ah, ilmu kalam).”

4. Ibnu ‘Abdil Hakam berkata Imam Asy-Syafii:
لَوْ عَلِمَ النَّاسُ مَا فِي الْأَهْوَاءِ مِنْ الْكَلَامِ لَفَرُّوا مِنْهُ كَمَا يَفِرُّونَ مِنْ الْأَسَدِ .
“Kalau seorang mengetahui apa yang ada pada al-ahwa (bid’ah) dari ilmu kalam, sungguh mereka akan lari darinya sebagaimana lari dari singa.”

5. Imam Asy-Syafii juga berkata:
مَا أَحَدٌ ارْتَدَى بِالْكَلَامِ فَأَفْلَحَ ،
“Tidak ada seorang pun jatuh dalam ilmu kalam, kemudian dia bisa beruntung.”

6. Al-Muzani bertanya kepada Imam Asy-Syafii tentang satu masalah dari ilmu kalam. Kemudian beliau balik bertanya: “Sedang dimana engkau?” Al-Muzani menjawab: “Di Masjid Jami di Fusthoth.” Kemudian Imam Ay-Syafii berkata: “Engkau sedang berada di Taron.” Taron adalah satu tempat di Laut Al-Qulzum, dimana hanpir tidak ada satu perahu yang selamat di sana. Kemudian Imam Asy-Syafii memberikan satu masalah fiqih kepadanya. Kemudian dia menjawabnya. Kemudian beliau memasukkan kepada Al-Muzani sesuatu yang merusak jawabannya. Kemudian Al-Muzani menjawab dengan selain itu. Kemudian beliau memasukkan sesuatu yang merusak jawabanku. Setiap kali Al-Muzani menjawab, beliau mendatangkan sesuatu yang merusak jawaban itu. Kemudian Imam Asy-Syafii berkata:
هَذَا الْفِقْه الَّذِي فِيهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّة وَأَقَاوِيلُ النَّاسِ يَدْخُلهُ مِثْل هَذَا فَكَيْفَ الْكَلَامُ فِي رَبِّ الْعَالَمِينَ الَّذِي الْجِدَال فِيهِ كُفْرٌ ؟ فَتَرَكْتُ الْكَلَامَ وَأَقْبَلْتُ عَلَى الْفِقْه
“Ini fiqih yang tentangnya ada penjelasan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta pendapat-pendapat ahul ilmi, memasukinya seperti ini, maka bagaimana dengan ilmu kalam tentang Allah, yang berdebat tentangnya kafir?”
Kemudian Al-Muzani meninggalkan ilmu kalam dan menghadap kepada ilmu fiqih.

7. Imam Asy-Syafii berkata:
لَوْ أَنَّ رَجُلًا أَوْصَى بِكُتُبِهِ مِنْ الْعِلْمِ لِآخَرَ ، وَكَانَ فِيهَا كُتُبُ الْكَلَامِ لَمْ تَدْخُلْ فِي الْوَصِيَّةِ ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ الْعِلْمِ .
“Kalau seseorang berwasiat dengan kitab-kitabnya kepada orang lain, dan di dalamnya ada kitab-kitab ilmu kalam, maka kitab-kitab ilmu kalam itu tidak termasuk dalam wasiat, karena itu bukanlah ilmu (yang bermanfaat.”

II. Perkataan Imam Abu Hanifah rahimahullah
Nuh Al-Jami’ berkata: Aku bertanya kepada Abu Hanifah tentang ilmu kalam seperti al-a’radh dan al-ajsam yang diadakan oleh orang-orang, maka dia menjawab:
مَقَالَاتُ الْفَلَاسِفَةِ ، عَلَيْكَ بِطَرِيقِ السَّلَفِ وَإِيَّاكَ وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ .
“Perkataan-perkataan filsafat, wajib engkau menempuh jalan salaf, dan hati-hati engkau dari setiap perkara yang baru.”

III. Perkataan Imam Ahmad rahimahullah (salah seorang murid Imam Asy-Syafii)
1. Imam Ahmad rahimahullah berkata:
لاَ يُفْلِحُ صَاحِبُ كَلاَمٍ أَبَدًا
“Ahli kalam tidak akan beruntung selama-lamanya.”

2. Imam Ahmad rahimahullah juga telah melarang melihat dan membaca kitab-kitab ahli kalam dan ahli bid’ah yang menyesatkan.
Beliau berkata dalam riwayat Al-Marrudzi:
لَسْت بِصَاحِبِ كَلَامٍ، فَلَا أَرَى الْكَلَام فِي شَيْء إلَّا مَا كَانَ فِي كِتَابِ اللَّهِ أَوْ حَدِيثٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابِهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَوْ عَنْ التَّابِعِينَ، فَأَمَّا غَيْر ذَلِكَ فَالْكَلَام فِيهِ غَيْرُ مَحْمُود
“Bukanlah aku termasuk ahli kalam. Aku tidak memandang ilmu kalam sedikitpun melainkan apa yang ada di dalam Al-Qur’an, atau hadits Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam, para shohabatnya rodhiyallahu ‘anhum atau dari tabiin. Adapun yang selain dari itu maka berbicara tentangnya tidak terpuji.” (Diriwayatkan oleh Al-Khollal)

3. Beliau berkata kepada seseorang dalam riwayat Ahmad bin Ash-rom:
إيَّاكَ وَمُجَالَسَةَ أَصْحَاب الْخُصُومَاتِ وَالْكَلَامِ
“Hati-hatilah dari duduk-duduk dengan orang yang suka berdebat dan dengan ahli kalam.” (Diriwayatkan Abu Nashr As-Sajzi)

4. Dalam riwayat Ahmad bin Ashrom: Imam Ahmad rahimahullah juga berkata kepada seseorang:
لَا يَنْبَغِي الْجِدَالُ، اتَّقِ اللَّهَ، وَلَا يَنْبَغِي أَنْ تُنَصِّبَ نَفْسَكَ، وَتَشْتَهِر بِالْكَلَامِ، لَوْ كَانَ هَذَا خَيْرًا لَتَقَدَّمَنَا فِيهِ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إنْ جَاءَك مُسْتَرْشِد فَأَرْشِدْهُ .
“Tidak sepantasnya untuk berjidal (debat kusir), bertakwalah kepada Allah. Tidak sepantasnya engkau mendudukan dirimu dan engkau terkenal dengan ilmu kalam. Kalau hal ini baik, sungguh kita akan didahului oleh para shohabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah itu. Namun jika datang seseorang meminta bimbingan kepadamu, maka berilah bimbingan.” (Diriwayatkan Abu Nashr As-Sajzi)

5. Beliau berkata dalam satu riwayat Hanbal:
عَلَيْكُمْ بِالسُّنَّةِ وَالْحَدِيث وَمَا يَنْفَعكُمْ ، وَإِيَّاكُمْ وَالْخَوْضَ وَالْمِرَاءَ فَإِنَّهُ لَا يُفْلِح مَنْ أَحَبَّ الْكَلَام
“Wajib kamu berpegang dengan sunnah, hadits dan yang memberi manfaat kepadamu. Dan hati-hatilah kamu dari berdebat, jidal, sesungguhnya tidak akan beruntung orang yang menyukai ilmu kalam.”

6. Beliau juga berkata:
لَا تُجَالِسْهُمْ وَلَا تُكَلِّمْ أَحَدًا مِنْهُمْ
“Jangan engkau duduk-duduk dengan ahli kalam, dan jangan kamu mengajak bicara kepada seorang pun dari mereka.”

7. Beliau juga menyebutkan ahli bid’ah dan berkata:
لَا أُحِبُّ لِأَحَدٍ أَنْ يُجَالِسَهُمْ وَلَا يُخَالِطَهُمْ وَلَا يَأْنَسَ بِهِمْ، وَكُلُّ مَنْ أَحَبَّ الْكَلَام لَمْ يَكُنْ آخِرُ أَمْرِهِ إلَّا إلَى بِدْعَة لِأَنَّ الْكَلَام لَا يَدْعُو إلَى خَيْر، عَلَيْكُمْ بِالسُّنَنِ وَالْفِقْه الَّذِي تَنْتَفِعُونَ بِهِ وَدَعُوا الْجِدَالَ وَكَلَامَ أَهْلِ الْبِدَع وَالْمِرَاءِ ، أَدْرَكْنَا النَّاسَ وَمَا يَعْرِفُونَ هَذَا وَيُجَانِبُونَ أَهْلَ الْكَلَامِ
“Aku tidak suka seseorang untuk duduk-duduk dengan mereka dan bergaul dengan mereka, dan beramah-tamah dengan mereka. Setiap orang yang menyukai ilmu kalam, akhir urusannya tidak lain kecuali kepada bid’ah, karena ilmu kalam tidak mengajak kepada kebaikan. Wajib kalian memegang sunnah-sunnah dan fikih yang kalian bisa mendapat manfaat dengannya. Tinggalkan jidal, ucapan ahli bid’ah dan orang yang suka berdebat. Kita telah mendapati para pendahulu, mereka tidak mengenal hal ini dan menjauhi ahli kalam.”

8. Imam Ahmad berkata dalam risalahnya kepada Musaddad, dia berkata:
وَلَا تُشَاوِرْ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْبِدَعِ فِي دِينِك، وَلَا تُرَافِقْهُ فِي سَفَرِك .
“Jangan engkau bermusyawarah dengan seorang pun dari ahli bid’ah dalam agamamu. Jangan temani dia dalam safar.”

9. Imam At-Tirmidzi berkata: Aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) berkata:
مَنْ تَعَاطَى الْكَلَامَ لَا يُفْلِحُ، وَمَنْ تَعَاطَى الْكَلَامَ لَمْ يَخْلُ مِنْ أَنْ يَتَجَهَّمَ .
“Orang yang mengambil ilmu kalam tidak akan beruntung. Dan barangsiapa mengambil ilmu kalam, tidak bisa lepas dari menjadi jahmiyah.”
***

Selasa, 06 Oktober 2009

Hukum Imam Syafii & Imam An-Nawawi terhadap Ahli Kalam

Imam Asy-Syafii rohimahulloh berkata:
حُكْمِي فِي أَهْلِ الْكَلَامِ أَنْ يُضْرَبُوا بِالْجَرِيدِ وَيُحْمَلُوا عَلَى الْإِبِلِ وَيُطَافَ بِهِمْ فِي الْقَبَائِل وَالْعَشَائِر ، وَيُنَادَى عَلَيْهِمْ هَذَا جَزَاءُ مَنْ تَرَكَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّة وَأَقْبَلَ عَلَى الْكَلَامِ
Hukumku pada ahlil kalam, mereka dipukul dengan pelepah kurma, dan dinaikkan ke unta, kemudian diarak berkeliling di kabilah-kabilah dan suku-suku, kemudian diserukan tentang mereka ‘Ini balasan orang yang meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menghadap diri kepada Ilmu Kalam’.”
(Manaqib Asy-Syafii karya Al-Baihaqi 1/462, cet, Dar At-Turots).

Ilmu Kalam diada-adakan para mutakallimun (ahli kalam) dalam masalah ushuluddin (pokok-pokok agama), dalam menetapkan aqidah (keyakinan) dengan cara-cara yang mereka ciptaan. Mereka berpaling dari yang dibawa Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Demikianlah peringatan Imam Asy-Syafii tentang ilmu kalam dan ahli kalam, karena hal itu akan menghantarkan kepada syubhat (kesamaran) dan keraguan-keraguan
Mereka, para ahli kalam, memang berhak mendapatkan apa yang dikatakan Imam Asy-Syafii dari sisi agar mereka bertaubat kepada Allah dan memperingatkan yang lainnya agar tidak mengikuti mereka. Jika kita melihat kepada mereka dari sisi yang lain: mereka telah dikuasai kebingungan dan dikuasai setan. Sehingga kemudian kita mengasihi mereka dan kita berlemah lembut kepada mereka. Dan kita memuji Allah yang telah menyelamatkan kita dari fitnah/ujian yang ditimpakan Allah kepada mereka.

Kita memandang kepada para ahli kalam dengan dua pandangan:
1.    pandangan dari sisi syariat: kita memberikan didikan kepada mereka dan melarang mereka dari menyebarkan madzhab mereka.
2.    pandangan dari sisi taqdir: kita menyayangi mereka dan meminta kepada Allah agar mereka diberi al-afiyah (keselamatan) dari kesesatan, dan kita memuji Allah yang telah menyelamatkan kita dari keadaan mereka yang menyimpang.

Kebanyakan orang yang dikawatirkan tersesat adalah orang-orang yang masuk dalam ilmu kalam, namun tidak sampai pada puncak ilmu kalam. Maksudnya: orang yang tidak masuk ke dalam ilmu kalam berada dalam keselamatan. Sedangkan orang yang telah sampai kepada puncak ilmu kalam, menjadi jelas bagi dirinya tentang kerusakan ilmu kalam, dan dia kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah sebagaimana yang terjadi pada sebagian tokoh ilmu kalam.

Sehingga masih tersisa kekawatiran atas orang yang keluar dari jalan Ash-Shiroth Al-Mustaqim dan tidak mengetahui hakekat perkara ilmu kalam.

Kita merasa cukup dengan Al-Qur’an, As-Sunnah dan atsar dari salaf dari semua ilmu kalam. Namun kebanyakan orang menisbatkan dirinya kepada sebagian kelompok ahli kalam dan berbaik prasangka kepada mereka, tidak pada yang lainnya. Karena mereka menyangka bahwa ahli kalam itu telah meneliti dalam masalah keyakinan yang tidak dilakukan oleh orang lain. Sampai kalau didatangkan satu ayat, dia tidak akan mengikutinya, kecuali jika dibawakan perkataan dari sebagian ahli kalam.

Imam Asy-Syafii juga berkata:
لَأَنْ يَلْقَى اللَّهُ الْعَبْدَ بِكُلِّ ذَنْبٍ مَا خَلَا الشِّرْكَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَلْقَاهُ بِشَيْءٍ مِن الْكَلَامِ
“Kalau seandainya Allah menemui seorang hamba dengan membawa dosa selain kesyirikan, itu lebih baik daripada menemuinya dengan sesuatu dari ilmu kalam.(Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab )

Kemudian Imam An-Nawawi berkata mengomentari ucapan Imam Asy-Syafii tersebut:
وَقَدْ بَالَغَ إمَامُنَا الشَّافِعِيُّ رحمه الله تعالى:فِي تَحْرِيمِ الِاشْتِغَالِ بِعِلْمِ الْكَلَامِ أَشَدَّ مُبَالَغَةٍ، وَأَطْنَبَ فِي تَحْرِيمِهِ، وَتَغْلِيظِ الْعُقُوبَةِ لِمُتَعَاطِيهِ، وَتَقْبِيحِ فِعْلِهِ، وَتَعْظِيمِ الْإِثْمِ فِيهِ فَقَالَ: " لَأَنْ يَلْقَى اللَّهُ الْعَبْدَ بِكُلِّ ذَنْبٍ مَا خَلَا الشِّرْكَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَلْقَاهُ بِشَيْءٍ مِنْ الْكَلَامِ "، وَأَلْفَاظُهُ بِهَذَا الْمَعْنَى كَثِيرَةٌ مَشْهُورَةٌ
“Imam kita Asy-Syafii telah sangat keras mengharamkan menyibukkan diri dengan ilmu kalam. Beliau sangat tegas dalam mengharamkannya, mengeraskan hukuman bagi orang yang simpati kepadanya, memperjelek perbuatannya, serta menyebutkan besar dosanya. Makanya beliau berkata: ‘Kalau seandainya Allah menemui seorang hamba dengan membawa dosa selain kesyirikan, itu lebih baik daripada menemuinya dengan sesuatu dari ilmu kalam’. Dan ungkapan-ungkapan beliau yang semakna dengan ini sangat banyak dan masyhur.” (Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab)

Lalu bagaimana dengan kebanyakan dari kaum muslimin sekarang di Indonesia , Malaysia, dan lainnya yang mengaku bermadzhab syafii namun masih saja belajar ilmu kalam dalam masalah aqidah dan tidak mengikuti wejangan Imam Asy-Syafii ini?
&&&

Hak Cipta @ 2009

Boleh menyalin dari blog: FatwaSyafii.wordpress.com atau FatwaSyafiiyah.blogspot.com untuk kepentingan dakwah Islam dengan mencantumkan url sumber untuk setiap artikel.

Posting Pilihan